Menjadi sebuah pertanyaan ketika tetralogi “Laskar Pelangi” yang ditulis oleh Andrea Hirata, mendapat sambutan yang luar biasa dari masyarakat, bukan saja dari segi kuantitas masyarakat yang mengapresinya, namun juga karya sastra tersebut mampu menembus lintas batas strata sosial, pendidikan dan ‘kelas’ para penikmatnya. Saya pikir, capaian yang didapat oleh “Laskar Pelangi” disebabkan antara lain; ia bukan saja punya energi melimpah bagi para pembacanya, namun sekaligus mampu memberikan stimulus psikologis yang teramat mengesankan, berupa alur cerita yang sangat variatif, pemilihan kata yang sangat cermat, kontens cerita yang orsinil dan dengan pemaparan yang lugas, maka tidak mengherankan bila karya tersebut mampu mengaduk-aduk emosi penikmatnya. “Laskar Pelangi” memberikan pelajaran tanpa harus menggurui, tanpa melawak ia bisa menjadi sangat lucu, dan zonder merintih ia mampu membuat pembacanya larut dalam kesedihan, dan sangat jauh dari keluh kesah serta caci maki. Yang teramat memukau dari karya sastra tersebut, ia merupakan kisah nyata dari para pelakunya, lebih khusus lagi penulisnya.
Penikmat karya tersebut benar-benar dibuat haru-biru oleh apa yang disajikan dalam novel tetralogi “Laskar Pelangi”. Tak pelak dari segi komersial, penjualan buku tersebut merupakan salah satu Best Seller dari sekian karya sastra yang telah ada. Yang lebih membuat miris, disinyalir novel bajakan yang beredar lebih banyak dari novel resminya
Ketika “Laskar Pelangi” hendak difilmkan, sebagian penikmatnya merasa sangat tidak rela, sebab mereka yakin adaptasi novel ke dalam film tersebut pasti akan jauh dari greget yang ada dalam novelnya, baik dari cara mengkisahkannya, alur ceritanya, terlebih lagi dari sisi kemampuan film memvisualisasikan emosi tokoh-tokoh yang ada dalam “Laskar Pelangi”. Belum lagi kalau melihat kapasitas para sineas kita yang teramat memprihatinkan, insan film yang kebanyakan dari mereka masih gemar membuat film-film kacangan dan tak punya nilai artistik sama sekali. Saya sendiri termasuk penikmat “Laskar Pelangi” yang mencoba ‘berbesar hati’ untuk mau menerima kenyataan novel tersebut diadaptasi ke dalam bentuk film.
Begitu film tersebut dilaunching ke masyarakat, sambutannya memang luar biasa, hampir berbanding lurus dengan apresiasi yang diberikan pada novelnya, film “Laskar Pelangi” mampu membuat masyarakat di negeri ini, dari berbagai strata sosial, latar pendidikan, profesi dan juga agama serta budaya, berduyun-duyun mendatangi bioskop. Saya sendiri sampai lima kali mendatangi bioskop baru bisa ‘kebagian jatah’ tiketnya. Sebuah fenomena yang luar biasa bagi industri perfilman Indonesia. Kabar yang beredar, film tersebut mampu membuat 3 juta orang lebih menontonnya, sebuah rekor baru film Indonesia. Dari realitas tersebut memang memunculkan impact yang bisa dijadikan tolok ukur dan pemilah bagi pembaca novelnya, bagi kalangan pembaca novel yang teratamat fanatik dengan “Laskar Pelangi”, yaitu golongan yang sangat tidak rela “Laskar Pelangi” diadaptasikan ke dalam sebuah film, bahkan dalam beberapa interview di televisi Anrdrea Hirata mengaku ‘dimarahi’ oleh kelompok fanantik ini, film tersebut mampu meneguhkan bahwa keyakinan mereka benar adanya, sebuah film sebagus apapun tetap tidak akan mampu memvisualisasikan secara utuh dari sebuah karya sastra berupa novel, disisi lain, bagi penikmat “Laskar Pelangi” yang fanatik namun moderat, kehadiran film dengan judul yang sama, menjadi peneguh kembali adanya keyakinan mereka bahwa ditampilkan dengan karya seni berbentuk apapun, “Laskar Pelangi” tetaplah sebuah karya yang teramat memukau.
Ketika menyaksikan filmnya, sayapun ikut larut dalam alur cerita serta visualisasi yang menurut saya, sebagai salah seorang penikmat novelnya, cukup bagus, dalam artian film tersebut mampu merepresentasikan sebuah kehebatan yang ada dalam bentuk novelnya. Saya merasa tidak sia-sia sudah ‘berbesar hati’ ketika mengetahui dan menerima kenyataan bahwa “Laskar Pelangi” diadaptasikan ke layer lebar.
Dari segi para pemerannya, kita disajikan sebuah peran yang sangat memukau, meski sebagian besar tokoh utamanya adalah anak-anak yang belum pernah sekalipun terlibat dalam seni peran khususnya, dan pembuatan film pada umumnya. Ajaibnya justru tampilnya muka-muka baru tersebut, memberikan sihir tersendiri buat film tersebut, para penonton disajikan dengan penampilan sosok-sosok yang benar-benar mampu merepresentasikan para punggawa “Laskar Pelangi”, penonton seakan-akan dibawa kealam dimana kisah “Laskar Pelangi” lahir dan dikagumi masyarakat, setting lokasinya pun juga sangat representatif sebagiamana yang dikisahkan dalam novelnya, demikian dengan alur ceritanya, meski ia hanya menyajikan sebagian dari sekian kisah yang ada dalam novelnya, namun cukup menjadi wakil “Laskar Pelangi” di layar lebar, pendek kata, film “Laskar Pelangi” benar-benar sebuah karya yang teramat pantas untuk diapresiasi sebagaimana novelnya.
Saat film tersebut usai masa putarnya, kita menyaksikan ada niatan dari produser dan sang penulis untuk membuat film lanjutan sebagaimana novelnya, bahkan dengan sumringah Andrea Hirata mengatakan “tak lama lagi Indonesia akan memiliki sequel film yang banyak digemari masyarakat”. Kita menyambut gembira adanya niatan tersebut, meski tak menutup mata adanya pesimisme di sebagian kalangan. Pesimisme akan kualitas film tersebut, mereka khawatir film lanjutan tidak akan sebagus sequel pertamanya.
Beberapa bulan kemudian, film tersebut diputar di bioskop, tepatnya mulai 17 Desember 2009, meski sebelumnya pernah diputar pada awal Desember 2009 sebagai film pembuka dalam ajang Jakarta International Film Festival (Jiffest). Dengan judul yang sama dengan novelnya yaitu “Sang Pemimpi”.
Sebagai penggemar setia “Laskar Pelangi”, saya pun tak mau ketinggalan menyakiskan film “Sang Pemimpi”, sengaja saya menyaksikan sudah beberapa hari masa putar, sebab saya tidak mau datang ke bioskop namun tak kebagian tiket.
Begitu menyaksikan film tersebut, apa yang dikhawatirkan oleh sebagian kalangan memang benar terjadi, kualitas film “Sang Pemimpi” memang jauh berada dibawah kualitas pendahulunya (“Laskar Pelangi”). Film tersebut benar-benar jauh panggang dari api, sedikitpun ia nyaris tak mampu merepresentasikan kehebatan “Laskar Pelangi”, film yang seakan-akan dibuat hanya sekedar memenuhi target bahwa harus dibuat sebanyak 4 judul, sebagaimana novelnya. Betapa sang pembuat film tidak mampu memindahkan emosi dan energi yang dalam dalam novel “Sang Pemimpi”. Terlebih lagi bila kita melihat bagaimana para pemeran memainkan tokoh-tokoh yang ada dalam novel tersebut, mayoritas dari mereka sangat kaku dan tidak pas, kita disajikan bagaimana pemeran Ikal semasa SMA maupun ketika ia sudah lulus dari SMA, sangat kering dan monoton, ia cuma menjadi tokoh yang bisa cengar-cengir dan terlihat bloon, kontras sekali dengan tokoh Ikal yang ada dalam novelnya, begitu juga Arai ketika sudah diwisuda dan mengikuti seleksi beasiswa di Jakarta, ia menjadi sosok yang teramat kaku dan jauh dari gambaran Ikal yang sebenarnya. Kita hanya bisa menyaksikan tokoh-tokoh “Sang Pemimpi” yang sejati hanya pada sosok Jimbron yang bisa diperankan dengan sangat baik, demikian pula Arai semasa SMA bisa mendekati sosok Arai yang ada dalam novelnya, demikian juga dengan Pak Julian Balia, yang bisa diperankan cukup baik. Selebihnya adalah sosok-sosok yang memperankan tokoh-tokoh dengan kaku dan menjauhkan film tersebut dengan novelnya. Bahkan pembuat film terasa berlebihan ketika menampilkan Taikong Hamim yang mendelik ketika meng-imami sholat berjamaah manakala ia mendengar salah satu jamaah kecilnya (Arai) yang mengamini fatihah dengan suara yang melengking panjang, berlebihan karena memang tidak ada episode tersebut dalam novelnya, juga tidak pernah seorang imam sholat langsung bereaksi ketika ada salah seorang jamaahnya yang ‘bandel’. Pun dengan tampilan ibunya Ikal, yang nampak kusut, tua dan kelam, sangat tidak mampu merepresentasikan ibundanya Ikal yang ada dalam novel. Berlebihan juga ketika menampilkan Zakiah Nurmala Binti Mahmud yang melambaikan tangan ketika Arai dan Ikal naik kapal hendak menuju Jakarta, sebab dalam novelnya, lakon itu memang tidak pernah ada. Zakiah Nurmala benar-benar menerima Arai setelah Arai menyelesaikan pendidikan S2 nya. Pendek kata film “Sang Pemimpi” justru menghilangkan roh “Laskar Pelangi” yang demikian hebat dan berenergi.
Musabab sampai terjadi sebagaimana tersebut diatas, dintaranya; kekeliruan pembuat film dalam memilih figur yang memerankan beberapa tokoh dalam film tersebut, semisal sosok Ikal, nampak tidak bisa benar-benar menjiwai apa yang harus dipernakannya, sosok Ikal sejati hanya bisa kita saksikan dalam diri Ikal ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Dari awal hingga akhir, film “Sang Pemimpi” benar-benar tidak mampu mempertemukan penonton dengan Ikal yang sebenarnya, Ikal yang begitu mempesona seperti ketika ia masih SD (“Laskar Pelangi”). Demikian juga dengan sosok Arai semasa ia lulus kuliah, pemilihan figur yang sudah dikenal masyarakat untuk memerankan tokoh ini justru serasa kurang pas, baik dari segi tampilan fisik yang jelas sangat berbeda dengan Arai semasa SMA, maupun cara ia memerankan sosok tersebut terasa hambar dan tidak punya jiwa, belum lagi sebagian masyarakat kita yang sudah mengenal dengan baik sang pemeran Arai (dewasa) justru membuat peran dan fungsinya terasa dangkal dan hambar.
Andrea Hirata Harus Bertanggung Jawab
Ibarat proyek film “Laskar Pelangi” adalah sebuah tim sepakbola, maka Andrea Hirata adalah ownernya, ia bukan saja berkewajiban membuat tim tersebut memenangi setiap pertandingan, namun juga harus membuat para supporternya tehibur dan puas dengan penampilannya, dengan demikian ia harus memilih manajer tim dan pelatih yang handal dan serius serta berpengalaman meracik tim tersebut.
Bila analogi di atas diaplikasikan pada proyek film “Laskar Pelangi”, film “Sang Pemimpi” ibarat tim sepakbola sedang mendekati jurang kehancuran, perjalanan kompetisi sudah melalui setengahnya, namun perjalan kedepan justru episode-episode yang tak kalah menantang, Andrea harus segera membuat evaluasi secara obyektif dan menyeluruh, agar kelanjutan proyek “Laskar Pelangi” tetap terjaga dan tidak kekurangan greget. Andrea harus berbesar hati untuk mengakui bahwa kinerja yang ditujukkan oleh penggarap “Sang Pemimpi” sudah mulai kedodoran. Bila dipandang perlu, Andrea harus beralih pada sineas lain yang memang sudah cukup piawi dan berpengalaman dalam penggarapan film yang berkualitas. Andrea juga harus tegas untuk secepatnya mencari sosok pengganti yang bisa memerankan Arai dan Ikal dalam babak selanjutnya, sehingga penonton ketika menyakiskan film tersebut tidak lagi dijauhkan dari novel yang telah meraka baca. Hal tersebut sangat penting mengingat tanggung jawab dia untuk tidak mendistorsi kehebatan tetralogi “Laskar Pelangi” ketika ditampilkan di layer lebar, sehingga ruh “Laskar Pelangi” tetap terpelihara sehebat yang ada dalam novelnya. Yang tak kalah pentingnya adalah ‘kemarahan’ penggemar fanatik “Laskar Pelangi” tidak kian menjadi-jadi, manakala film-film nya berkualitas buruk.
Kita selaku penikmat karyanya, menanti apakah ia mau melakukannya? Bila tidak, kita hanya akan menyakiskan segunung kekecewaan dan kemarahan pengagum “Laskar Pelangi”.
Sebaliknya, bila ia mampu bertanggung jawab, niscaya kita menjadi saksi sejarah betapa karya sastra kita juga mampu ditampilkan di layar lebar dengan sequel yang tak kalah memumaku dengan produksi Holywood, kita juga akan bisa melihat bagaimana girangnya Arai ketika tahu bahwa Zakiah Nurmala Binti Mahmud mau menerimanya.
Wallohu’alam bisshowab
Penikmat karya tersebut benar-benar dibuat haru-biru oleh apa yang disajikan dalam novel tetralogi “Laskar Pelangi”. Tak pelak dari segi komersial, penjualan buku tersebut merupakan salah satu Best Seller dari sekian karya sastra yang telah ada. Yang lebih membuat miris, disinyalir novel bajakan yang beredar lebih banyak dari novel resminya
Ketika “Laskar Pelangi” hendak difilmkan, sebagian penikmatnya merasa sangat tidak rela, sebab mereka yakin adaptasi novel ke dalam film tersebut pasti akan jauh dari greget yang ada dalam novelnya, baik dari cara mengkisahkannya, alur ceritanya, terlebih lagi dari sisi kemampuan film memvisualisasikan emosi tokoh-tokoh yang ada dalam “Laskar Pelangi”. Belum lagi kalau melihat kapasitas para sineas kita yang teramat memprihatinkan, insan film yang kebanyakan dari mereka masih gemar membuat film-film kacangan dan tak punya nilai artistik sama sekali. Saya sendiri termasuk penikmat “Laskar Pelangi” yang mencoba ‘berbesar hati’ untuk mau menerima kenyataan novel tersebut diadaptasi ke dalam bentuk film.
Begitu film tersebut dilaunching ke masyarakat, sambutannya memang luar biasa, hampir berbanding lurus dengan apresiasi yang diberikan pada novelnya, film “Laskar Pelangi” mampu membuat masyarakat di negeri ini, dari berbagai strata sosial, latar pendidikan, profesi dan juga agama serta budaya, berduyun-duyun mendatangi bioskop. Saya sendiri sampai lima kali mendatangi bioskop baru bisa ‘kebagian jatah’ tiketnya. Sebuah fenomena yang luar biasa bagi industri perfilman Indonesia. Kabar yang beredar, film tersebut mampu membuat 3 juta orang lebih menontonnya, sebuah rekor baru film Indonesia. Dari realitas tersebut memang memunculkan impact yang bisa dijadikan tolok ukur dan pemilah bagi pembaca novelnya, bagi kalangan pembaca novel yang teratamat fanatik dengan “Laskar Pelangi”, yaitu golongan yang sangat tidak rela “Laskar Pelangi” diadaptasikan ke dalam sebuah film, bahkan dalam beberapa interview di televisi Anrdrea Hirata mengaku ‘dimarahi’ oleh kelompok fanantik ini, film tersebut mampu meneguhkan bahwa keyakinan mereka benar adanya, sebuah film sebagus apapun tetap tidak akan mampu memvisualisasikan secara utuh dari sebuah karya sastra berupa novel, disisi lain, bagi penikmat “Laskar Pelangi” yang fanatik namun moderat, kehadiran film dengan judul yang sama, menjadi peneguh kembali adanya keyakinan mereka bahwa ditampilkan dengan karya seni berbentuk apapun, “Laskar Pelangi” tetaplah sebuah karya yang teramat memukau.
Ketika menyaksikan filmnya, sayapun ikut larut dalam alur cerita serta visualisasi yang menurut saya, sebagai salah seorang penikmat novelnya, cukup bagus, dalam artian film tersebut mampu merepresentasikan sebuah kehebatan yang ada dalam bentuk novelnya. Saya merasa tidak sia-sia sudah ‘berbesar hati’ ketika mengetahui dan menerima kenyataan bahwa “Laskar Pelangi” diadaptasikan ke layer lebar.
Dari segi para pemerannya, kita disajikan sebuah peran yang sangat memukau, meski sebagian besar tokoh utamanya adalah anak-anak yang belum pernah sekalipun terlibat dalam seni peran khususnya, dan pembuatan film pada umumnya. Ajaibnya justru tampilnya muka-muka baru tersebut, memberikan sihir tersendiri buat film tersebut, para penonton disajikan dengan penampilan sosok-sosok yang benar-benar mampu merepresentasikan para punggawa “Laskar Pelangi”, penonton seakan-akan dibawa kealam dimana kisah “Laskar Pelangi” lahir dan dikagumi masyarakat, setting lokasinya pun juga sangat representatif sebagiamana yang dikisahkan dalam novelnya, demikian dengan alur ceritanya, meski ia hanya menyajikan sebagian dari sekian kisah yang ada dalam novelnya, namun cukup menjadi wakil “Laskar Pelangi” di layar lebar, pendek kata, film “Laskar Pelangi” benar-benar sebuah karya yang teramat pantas untuk diapresiasi sebagaimana novelnya.
Saat film tersebut usai masa putarnya, kita menyaksikan ada niatan dari produser dan sang penulis untuk membuat film lanjutan sebagaimana novelnya, bahkan dengan sumringah Andrea Hirata mengatakan “tak lama lagi Indonesia akan memiliki sequel film yang banyak digemari masyarakat”. Kita menyambut gembira adanya niatan tersebut, meski tak menutup mata adanya pesimisme di sebagian kalangan. Pesimisme akan kualitas film tersebut, mereka khawatir film lanjutan tidak akan sebagus sequel pertamanya.
Beberapa bulan kemudian, film tersebut diputar di bioskop, tepatnya mulai 17 Desember 2009, meski sebelumnya pernah diputar pada awal Desember 2009 sebagai film pembuka dalam ajang Jakarta International Film Festival (Jiffest). Dengan judul yang sama dengan novelnya yaitu “Sang Pemimpi”.
Sebagai penggemar setia “Laskar Pelangi”, saya pun tak mau ketinggalan menyakiskan film “Sang Pemimpi”, sengaja saya menyaksikan sudah beberapa hari masa putar, sebab saya tidak mau datang ke bioskop namun tak kebagian tiket.
Begitu menyaksikan film tersebut, apa yang dikhawatirkan oleh sebagian kalangan memang benar terjadi, kualitas film “Sang Pemimpi” memang jauh berada dibawah kualitas pendahulunya (“Laskar Pelangi”). Film tersebut benar-benar jauh panggang dari api, sedikitpun ia nyaris tak mampu merepresentasikan kehebatan “Laskar Pelangi”, film yang seakan-akan dibuat hanya sekedar memenuhi target bahwa harus dibuat sebanyak 4 judul, sebagaimana novelnya. Betapa sang pembuat film tidak mampu memindahkan emosi dan energi yang dalam dalam novel “Sang Pemimpi”. Terlebih lagi bila kita melihat bagaimana para pemeran memainkan tokoh-tokoh yang ada dalam novel tersebut, mayoritas dari mereka sangat kaku dan tidak pas, kita disajikan bagaimana pemeran Ikal semasa SMA maupun ketika ia sudah lulus dari SMA, sangat kering dan monoton, ia cuma menjadi tokoh yang bisa cengar-cengir dan terlihat bloon, kontras sekali dengan tokoh Ikal yang ada dalam novelnya, begitu juga Arai ketika sudah diwisuda dan mengikuti seleksi beasiswa di Jakarta, ia menjadi sosok yang teramat kaku dan jauh dari gambaran Ikal yang sebenarnya. Kita hanya bisa menyaksikan tokoh-tokoh “Sang Pemimpi” yang sejati hanya pada sosok Jimbron yang bisa diperankan dengan sangat baik, demikian pula Arai semasa SMA bisa mendekati sosok Arai yang ada dalam novelnya, demikian juga dengan Pak Julian Balia, yang bisa diperankan cukup baik. Selebihnya adalah sosok-sosok yang memperankan tokoh-tokoh dengan kaku dan menjauhkan film tersebut dengan novelnya. Bahkan pembuat film terasa berlebihan ketika menampilkan Taikong Hamim yang mendelik ketika meng-imami sholat berjamaah manakala ia mendengar salah satu jamaah kecilnya (Arai) yang mengamini fatihah dengan suara yang melengking panjang, berlebihan karena memang tidak ada episode tersebut dalam novelnya, juga tidak pernah seorang imam sholat langsung bereaksi ketika ada salah seorang jamaahnya yang ‘bandel’. Pun dengan tampilan ibunya Ikal, yang nampak kusut, tua dan kelam, sangat tidak mampu merepresentasikan ibundanya Ikal yang ada dalam novel. Berlebihan juga ketika menampilkan Zakiah Nurmala Binti Mahmud yang melambaikan tangan ketika Arai dan Ikal naik kapal hendak menuju Jakarta, sebab dalam novelnya, lakon itu memang tidak pernah ada. Zakiah Nurmala benar-benar menerima Arai setelah Arai menyelesaikan pendidikan S2 nya. Pendek kata film “Sang Pemimpi” justru menghilangkan roh “Laskar Pelangi” yang demikian hebat dan berenergi.
Musabab sampai terjadi sebagaimana tersebut diatas, dintaranya; kekeliruan pembuat film dalam memilih figur yang memerankan beberapa tokoh dalam film tersebut, semisal sosok Ikal, nampak tidak bisa benar-benar menjiwai apa yang harus dipernakannya, sosok Ikal sejati hanya bisa kita saksikan dalam diri Ikal ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Dari awal hingga akhir, film “Sang Pemimpi” benar-benar tidak mampu mempertemukan penonton dengan Ikal yang sebenarnya, Ikal yang begitu mempesona seperti ketika ia masih SD (“Laskar Pelangi”). Demikian juga dengan sosok Arai semasa ia lulus kuliah, pemilihan figur yang sudah dikenal masyarakat untuk memerankan tokoh ini justru serasa kurang pas, baik dari segi tampilan fisik yang jelas sangat berbeda dengan Arai semasa SMA, maupun cara ia memerankan sosok tersebut terasa hambar dan tidak punya jiwa, belum lagi sebagian masyarakat kita yang sudah mengenal dengan baik sang pemeran Arai (dewasa) justru membuat peran dan fungsinya terasa dangkal dan hambar.
Andrea Hirata Harus Bertanggung Jawab
Ibarat proyek film “Laskar Pelangi” adalah sebuah tim sepakbola, maka Andrea Hirata adalah ownernya, ia bukan saja berkewajiban membuat tim tersebut memenangi setiap pertandingan, namun juga harus membuat para supporternya tehibur dan puas dengan penampilannya, dengan demikian ia harus memilih manajer tim dan pelatih yang handal dan serius serta berpengalaman meracik tim tersebut.
Bila analogi di atas diaplikasikan pada proyek film “Laskar Pelangi”, film “Sang Pemimpi” ibarat tim sepakbola sedang mendekati jurang kehancuran, perjalanan kompetisi sudah melalui setengahnya, namun perjalan kedepan justru episode-episode yang tak kalah menantang, Andrea harus segera membuat evaluasi secara obyektif dan menyeluruh, agar kelanjutan proyek “Laskar Pelangi” tetap terjaga dan tidak kekurangan greget. Andrea harus berbesar hati untuk mengakui bahwa kinerja yang ditujukkan oleh penggarap “Sang Pemimpi” sudah mulai kedodoran. Bila dipandang perlu, Andrea harus beralih pada sineas lain yang memang sudah cukup piawi dan berpengalaman dalam penggarapan film yang berkualitas. Andrea juga harus tegas untuk secepatnya mencari sosok pengganti yang bisa memerankan Arai dan Ikal dalam babak selanjutnya, sehingga penonton ketika menyakiskan film tersebut tidak lagi dijauhkan dari novel yang telah meraka baca. Hal tersebut sangat penting mengingat tanggung jawab dia untuk tidak mendistorsi kehebatan tetralogi “Laskar Pelangi” ketika ditampilkan di layer lebar, sehingga ruh “Laskar Pelangi” tetap terpelihara sehebat yang ada dalam novelnya. Yang tak kalah pentingnya adalah ‘kemarahan’ penggemar fanatik “Laskar Pelangi” tidak kian menjadi-jadi, manakala film-film nya berkualitas buruk.
Kita selaku penikmat karyanya, menanti apakah ia mau melakukannya? Bila tidak, kita hanya akan menyakiskan segunung kekecewaan dan kemarahan pengagum “Laskar Pelangi”.
Sebaliknya, bila ia mampu bertanggung jawab, niscaya kita menjadi saksi sejarah betapa karya sastra kita juga mampu ditampilkan di layar lebar dengan sequel yang tak kalah memumaku dengan produksi Holywood, kita juga akan bisa melihat bagaimana girangnya Arai ketika tahu bahwa Zakiah Nurmala Binti Mahmud mau menerimanya.
Wallohu’alam bisshowab
No comments:
Post a Comment