Wednesday, February 18, 2009

Kemurtadan yang Niscaya dan Globalisasi Dakwah

Oleh Ulil Abshar-Abdalla
Pindah agama biasa disebut sebagai konversi. Ada dua model konversi: internal dan eksternal. Konversi internal adalah peristiwa yang hampir lazim terjadi dalam semua agama. Ia terjadi saat seseorang pindah dari mazhab dan perspektif tertentu ke mazhab dan perspketif lain, tetapi masih dalam lingkungan agama yang sama. Seseorang yang semula “fundamentalis” berubah jadi “moderat” atau sebaliknya, pada dasarnya telah melakukan konversi, tetapi dalam batas-batas agama yang sama.
Pindah agama biasa disebut sebagai konversi. Ada dua model konversi: internal dan eksternal. Konversi internal adalah peristiwa yang hampir lazim terjadi dalam semua agama. Ia terjadi saat seseorang pindah dari mazhab dan perspektif tertentu ke mazhab dan perspketif lain, tetapi masih dalam lingkungan agama yang sama. Seseorang yang semula “fundamentalis” berubah jadi “moderat” atau sebaliknya, pada dasarnya telah melakukan konversi, tetapi dalam batas-batas agama yang sama.
Dengan makin membludaknya pilihan-pilihan “pendekatan” dalam memahami agama (Islam, misalnya) saat ini, maka peristiwa konversi internal hampir merupakan kejadian yang lazim terjadi setiap saat. Seorang sosiolog agama dari Boston University, Peter Berger, bahkan menyebut salah satu ciri modernitas adalah munculnya gejala “heretical imperative”, gejala kemurtadan yang niscaya. Murtad di sini dimaknai menyimpang dari pandangan yang dominan dalam sebuah agama.
Sekarang ini, seseorang bisa dengan mudah menjadi “koki” agama untuk dirinya sendiri. Maksudnya, dia bisa meracik ramuan “agama” dari pelbagai sumber, entah kiai, buku, majalah, koran, atau ceramah di TV dan radio, lalu memasak bahan-bahan itu menjadi “menu” baru yang pas untuk dirinya sendiri.
Dalam satu aspek, dia bisa ambil dari Quraish Shihab, dari aspek lain kulakan dari Kang Jalal, sementara di aspek lainnya lagi bisa mencomot dari MUI, lalu bahan-bahan itu ia olah sendiri menjadi “model Islam baru” yang “customized” dan pas benar dengan ukuran hati dan pikiran dia sendiri. Semua orang, sekarang, makin cenderung memiliki agama yang pas buat dirinya sendiri, hasil dari racikan yang ia buat sendiri.
Bentuk-bentuk Islam yang sudah “cutomized” itu tak perlu disuarakan secara publik ke luar, tetapi umumnya tersimpan sebagai rahasia pribadi antara orang berangkutan dengan dirinya sendiri dan Tuhan. MUI tak meungkin berkuasa mendikte jenis Islam apa yang harus diyakini oleh masing-masing individu pada wilayah yang sangat privat ini.
Karena bahan bacaan yang makin meluas, atau pengalaman hidup yang baru, orang bisa mengocok kembali racikan yang ada, menambahkan racikan baru, membuang beberapa racikan lama yang sudah usang, lalu menciptakan Islam baru yang lain lagi dan lebih pas dengan dirinya yang sudah berubah itu. Dalam hal ini, ia telah melakukan proses “swa-murtad”, maksudnya, murtad dan menyeleweng dari “racikan Islam lama” yang ia ciptakan sendiri, menuju racikan baru yang lebih cocok.
Begitulah, proses itu berlangsung terus sepanjang hidup orang modern. Kita memasuki era “customized Islam”, era di mana telah terjadi heretical imperative.
Sementara itu, konversi eksternal terjadi jika seseorang pindah dari satu agama ke agama lain. Konversi internal jauh lebih sering terjadi ketimbang konversi eksternal. Yang terakhir ini biasanya terjadi dalam situasi yang sangat khusus.
Saya kira, agama yang paling bersemangat melakukan konversi eksternal saat ini adalah Kristen, terutama Kristen evangelis dengan beragam denominasi. Rangking kedua diduduki Islam, terutama Islam Wahabi yang didanai milyaran petro-dollar Arab Saudi. Rangking berikutnya adalah Budha.
Jarang orang memperhatikan bahwa agama Budha juga salah satu agama yang pesat perkembangannya di Barat saat ini. Yang menarik, penyebaran agama Budha di Barat, terutama di AS, tidak terkait dengan kegiatan proselitisasi yang agresif seperti kita kenal dalam Kristen. Agama Budha dipeluk orang-orang Barat justru sebagai lifestyle baru yang menggairahkan. Sebagaimana orang-orang dengan bergairah menyambut buku Da Vinci Code, begitu pula tingginya entusiasme mereka menyambut agama Budha, Dalai Lama, dan kebijaksanaan timur yang bersumber dari agama itu.
Kita mengenal gejala yang disebut New Age di mana unsur-unsur agama Budha sangat berpengaruh di sana. Karena kejenuhan orang Barat terhadap agama-agama terorganisir seperti Kristen, agama Budha bisa menjadi alternatif yang menarik buat mereka, sebab agama ini (tidak semuanya, tetapi beberapa sekte di sana) tidak terlalu peduli dengan aspek kelembagaan.
Yang ditekankan adalah proses meditasi personal. Tidak ada “syariat” di sana. Yang ada adalah “laku” atau “tarikat”. Agama ini, diam-diam, berkembang pesat di dunia Barat, dan tampaknya lebih cocok dengan orang modern yang sudah lelah akan “institusi”.
Di negeri-negeri luar Eropa atau Amerika, kegiatan proselitisasi memang jadi masalah besar. Di Cina, dakwah Kristen mendapat rintangan dan tekanan luar biasa dari pemerintah komunis. Di India, reaksi atas Kristenisasi juga luar biasa keras. Di semua negara Timur Tengah, aktivitas Kristenisasi tak bisa berkembang dengan leluasa karena resistensi pemerintah atau masyarakat setempat. Di Asia Tenggara, seperti Burma, Vietnam dan Kamboja, Kristenisasi juga mendapat reaksi yang tak kalah keras dari masyarakat Budhis di sana.
Kristenisasi yang paling sukses di Asia terjadi di Korea Selatan. Bahkan, Korsel telah berhasil melahirkan gereja-gereja baru yang berbasis kultur Korea dan memunculkan genre Kristen baru yang boleh disebut “Koreo-Christianity”.
Secara umum, agama Kristen merosot total di Eropa, tapi mengalami re-invogorasi di negeri-negeri dunia ketiga, terutama di Asia, Afrika dan Amerika Latin.
Agama Islam sendiri, sebetulnya, juga tak kalah agresif dalam kegiatan proselitisasi. Seperti yang telah saya sebut, Arab Saudi adalah negeri yang paling bersemangat mendakwahkan Islam model Wahabi ke seluruh penjuru dunia. Tetapi, banyak orang lupa, ada sejumlah proselitisasi Islam yang dilakukan oleh kelompok-kelompok “swasta” atau organisasi-organisasi mandiri seperti Ahmadiyah dan Jamaat Tabligh. Banyak yang tidak tahu, proses Islamisasi di Afrika terjadi dengan sangat sukses berkat dakwah yang dilakukan Jamaah Ahmadiyah dan Jamaat Tabligh.
Jika melihat gejala proselitisasi ini secara global, sesungguhnya kita sedang melihat proses makin intensifnya gejala dakwah agama dalam semua agama di tingkat dunia. Dengan mengecualikan sejumlah agama lokal yang sifatnya sangat terbatas, kita melihat semua agama saat ini melakukan proselitisasi dengan satu dan lain cara. Proses proselitisasi makin menjadi fenomena global. Globalisasi dakwah adalah gejala yang makin umum, dan sebetulnya merupakan bagian dari gejala globalisasi dalam makna yang luas.
Sebagaimana kita tak bisa menghindar dari “tempias” berita-berita yang disiarkan CNN; atau lebih tepatnya lagi, sebagaimana kita tak bisa menghindar dari Microsoft, begitu juga kita tak bisa menghindar dari gejala globalisasi dakwah.
Ulil Abshar-Abdalla, mantan Koordinator Jaringan Islam Liberal
20/03/2006 | Kolom | #

Komentar
Komentar Masuk (4)

Sebagai mahasiswa, saya ingin membeitahukan bahwa dalam memberikan tanggapan ini mungkin belum sebaik yang diberikan oleh para saudara-saudara sebelumnya tetapi setidaknya tidak dengan nada merendahkan seperti saudara muhammad hafidz.Jadi bila tanggapan ini kurang baik dimata bapak ulil, mohon maaf.
Yang ingin saya katakan setelaah membaca artikel ini sehinggas menimbulkan pertanyaan2, seperti apakah rasisme di dalam kristen sendiri sudah hilang sehingga masyarakat dunia ketiga merasa bahwa kristen bukan dalih untuk kolonialisasi seperti yang dilakukan oleh eropa abad 19.Dengan melihat rujukan yang saya baca di buku tokoh kita, imam nurcholis madjid, alm yang berjudul “islam doktrin dan peradaban”, disitu dijelaskan bahwa penyebaran agama kristen di afrika sangat lamban karena sikap gereja yang membentuk semacam sistem kasta atau strata.jadi kesimpulan saya dalam tanggapan ini,islam yang relevan memang seharusnya tidak mengisolasi diri karena paradigma penjajahan atau kultur tradisional yang hanya menghambat perkembangan islam selanjutnya.
Untuk bapak ulil abshar saya sangat berharap jamaah islam liberal mampu memberikan pengertian yang relevan dan realistis kepada masyarakat kita tentang bahaya bid’ah didalam islam khususnya indonesia. terimakasih.
Posted by hendra lesmana on 03/31 at 12:03 AM

Saya juga mencermati perkembangan agama Budha yg cukup pesat di negara2x Barat. Saya melihat banyak masyarakat Barat yg sangat respect thd ajaran2x Budha, sebagaimana mereka juga respect thd Islam beberapa tahun lalu sblm 9/11.
Saya melihat Islam menjadi jelek di mata masyarakat Barat saat ini karena banyak umat Islam yg menggambarkan Islam sebagai agama yg tidak cinta kasih, tuhannya orang Islam aja (bukan tuhan semesta alam) dan yg masuk surga orang Wahabi saja.
Jadi kejelekan itu terjadi karena salesmannya yg jelek, walaupun product itu sendiri (Islam) adalah produk yg bagus. Nabi Muhammad SAW pun akan sedih kalau melihat pengikut2xnya menjadi bad salesman karena bukankah nabi sendiri merupakan salesman yg hebat, hingga menyebarluaskan Islam hingga sebesar skrg ini:)
Posted by Ahmad Arief on 03/23 at 08:03 PM

Sayang sekali, Ulil tidak (’mampu’) memberikan sumber rujukan data ketika ia membikin rangking agama-agama yang melakukan konversi eksternal, juga ketika ia menguraikan tingkat pertumbuhan agama-agama di dunia Barat, sehingga kesan yang muncul di benak pembaca, Ulil tengah berhalusinasi yang ia tuangkan dalam tulisan tersebut. Semoga cukup sekali ini saja Ulil berhalusinasi
Mas Hafid
Posted by M. Hafid on 03/22 at 06:03 PM

Mengenai Dalai Lama,
Sebelumnya saya perlu tegaskan bahwa saya tidak bermaksud menghina agama tertentu (dalam hal ini Budha), tapi mungkin memang sudah sifat alami saya “being skeptic”.
Untuk teman2 lain (kalau teman2 aktifis JIL terutama para scholars, tentunya tidak perlu “dikuliahi” soal ini): sebelum melangkah terlalu jauh dengan memandang agama2 dari “timur” (seperti Hindu, Budha, Shinto, whatever) lebih baik (dalam arti lebih bijak, etc), dan lantas mengagung2kan (atau mengkultuskan figur2 seperti Dalai Lama) sebagai orang suci… I would like to say: dia manusia biasa, bisa berbuat salah (tentunya untuk beberapa hal benar/salah bisa jadi suatu yang subjektif, entahlah). Mungkin saja, hanya seberapa sering dia berbuat “salah” itu yang beda, tergantung pada intelektualitas dan pengendalian diri (kebijaksanaan/pengalaman).
Saya iseng menulis comment ini, sebab beberapa hari yang lalu saya membaca kritik terhadap Dalai Lama: http://www.salon.com/news/1998/07/13news.html
Well… gak ada maksud apa-apa. Saya cuma mengekspresikan skeptisisme saya terhadap “orang suci”. Orang baik ada (banyak), tapi orang suci… well, nanti dulu. I (think) I respect figures like Dalai Lama, not because of his “saint” status, tapi mungkin karena (setahu saya) dia relatif lebih “baik” dari saya (dan mungkin kebanyakan orang lainnya).
Mungkin saya akan dibilang “bejat”, bukan hanya oleh kalangan Islam, atau apalah istilahnya (setahu saya, di Katolik juga banyak saints). Tapi memang saya seperti itu. Terhadap figur yang notabene di Hindu pun saya cenderung begitu: Swami Vivekananda (Bhagawadgita Menurut Aslinya), misalnya. Saya sempat tidak tertarik membaca bhagawadgitha hanya karena dia, dengan judul bukunya, seakan2 mengesankan dialah yang punya authorisasi atas isi bhagavadgitha. Sampai akhirnya saya mikir:… well, kenapa gak saya coba liat dulu isinya, kalau memang ada yang berguna (dalam arti bisa membuat saya berpikir dan bersikap lebih baik sebagai manusia), kenapa tidak? Masalah asli /kurang asli..., kenapa saya harus pusing? Anyway, critic and skepticism terhadap “agama”, bagi saya akan terus saya jalankan.
Yah, segitu aja unek2 saya I like reading JIL (seperti memberi harapan, bahwa di Indonesia gak semuanya seperti FPI, MMI, dan yang sangar2 itu). I’m not a moslem, I call myself a Hindu, tapi keep up the good work guys (to JIL).
Posted by Cokorda Raka Angga Jananuraga on 03/22 at 06:03 PM
http://islamlib.com/id/artikel/kemurtadan-yang-niscaya-dan-globalisasi-dakwah/

Monday, February 16, 2009

Valentino Rossi dan Fenomena Industri Kita



Senin,9 Februari 2009, Valentino Rossi, Pembalap MotoGP kenamaan datang ke Jakarta, ia hendak menyapa para penggemarnya di negeri ini. Baginya, Indonesia mempunyai tempat khusus dalam perjalanan karir dan hidupnya, sebab ia pertama kali naik ke podium kehormatan sebagai pemenang manakala ia berlaga di sirkuit Sentul, pada 1996, saat ia masih bersama Honda.
Sungguh luar biasa antusiasme para penggemarnya di Jakarta, mereka menyambut semenjak dari bandara, sampai pada venue yang disediakan oleh panitia, yaitu Istora. Sayang, nampaknya panitia over dalam menampilkan Rossi di depan pengunjung yang ribuan jumlahnya di Istora, Rossi 'disajikan' didepan para pengagumnya dengan bumbu tarian dari wanita-wanita yang berpakaian norak dan seronok. Nampaknya panitia tidak paham benar dengan para penggemar Rossi, sesungguhnya Rossi zonder mereka (wanita-wanita penari berpakaian norak dan seronok) tetaplah menarik dan mempesona, sebab disamping kepribadiannya yang hangat, ramah dan santun, juga (dan ini yang paling penting) kepandaian dia mengendalikan motor dan keberanian dia melakukan manuver di tiap tikungan di lintasan balap. Justru penampilan para penari (wanita-wanita berpakaian norak dan seronok)tersebut kontra produktif adanya, sebab keberadaan mereka 'menganggu pemandangan' bagi penggemar Rossi.
Nampaknya panitia bukan saja tidak paham, tapi mereka juga merupakan sebagian orang yang gemar mengeksploitasi para perempuan untuk kepentingan industri mereka, mereka berpikir bahwa tanpa penampilan wanita-wanita penari berpakaian norak dan seronok, apa yang mereka sajikan tidak akan diminati oleh para pelanggan/costumer, sungguh sebuah ironi yang memilukan.

Tuesday, February 03, 2009

Komisi-Komisi Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Kita

Amandemen yang dilakukan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 membawa implikasi pada perubahan sistem ketatanegaraan kita, hal tersebut bisa kita lihat apabila kita mengamati pemilahan pada lembaga negara yang ada. Ambil contoh; bila sebelum amandemen, kita mengenal adanya lembaga tinggi negara dan lembaga tertinggi negara, maka setelah amandemen, dikotomi tersebut sirna, demikian juga kita mengalami penambahan beberapa lembaga, yang semula belum kita kenal keberadaannya, namun pasca perubahan/amandemen UUD 1945, lembaga-lembaga tersebut muncul.
Secara sederhana sistem ketatanegaraan kita dapat saya deskripsikan sebagai berikut;
1. Lembaga Negara (LN) Institusi ini eksistensinya termaktub dalam UUD 1945, diantaranya: Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Presiden, Makhkamah Agung (MA), Makhkamah Konstitusi (MK), dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), serta Komisi Yudisial (KY), saya pernah menginventarisir perbedaan penafsiran antara Baharudin Aritonang (Anggota BPK) dan Jimly Asshidiqi (yang waktu itu menjabat sebagai ketua Makhkamah Konstitusi) yang berbeda pendapat antara menurut Baharudin KY sejajar dengan lembaga-lembaga negara di atas, namun menurut Jimly tidak sejajar. Kemudian kita juga mendapati Bank Indonesia (BI) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam UUD juga dicantumkan, untuk kemudian pengaturannya di-breakdown ke dalam bentuk Undang-Undang, khusus untuk KPU, di dalam Undang-Undang Dasar ditulis dengan huruf kecil, yaitu komisi pemilihan
2. Lembaga Pemerintahan, yang secara umum bisa didefinisikan sebagai salah satu institusi kelengkapan negara, dengan fungsi utama menjalankan pemerintahan, eksistensinya termaktub dalam UUD 1945, kemudian dibreakdown ke dalam Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden, adapun bentuk lembaganya secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu;
A. Kementrian Negara, yang berjumlah 36 kementrian, baik yang level departemen
maupun non departemen (seperti misalnya Kementrian Pemuda dan Olah Raga)
B. Lembaga Pemerintahan Non Departemen (LPND), diidentifikasi ada sekitar 25,
contoh lembaga-lembaga tersebut seperti; Badan Intelijen Negara (BIN), Badan
Pertanahan Nasional (BPN), Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM),
Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Badan Pengawas Obat
dan Makanan (BPPOM), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), BPPT, BATAN, BAPETEN, BAKOSURTANAL, BPHN. Lembaga-lembaga tersebut bertanggung jawab kepada Presiden.
3. Lembaga Kuasi Negara, Adalah lembaga yang dibentuk sebagai salah satu cara guna menangani masalah-masalah tertentu sesuai bidangnya. Oleh Baharudin Aritonang didefinisikan sebagai; Lembaga masyarakat yang diformalkan sehingga mengambil peran kewenangan negara dalam bidang masing-masing, dengan kata lain Lembaga Kuasi Negara, atau State Auxalary Bodies, yaitu Lembaga yang dibentuk atau didirikan untuk menangani masalah-masalah khusus sesuai dengan spesifikasinya, yang pada umumnya pendiriannya merupakan sebuah reaksi atas ketidakmampuan institusi yang ada menangani masalah tersebut, struktur dan cara kerja lembaga tersebut bersifat independen, meskipun demikian supratruktur dan infrastrukturnya disediakan oleh negara.
Pada hakikatnya, lembaga kuasi negara merupakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang kemudian diformalkan menjadi Lembaga Negara, kita bisa melihat hal tersebut, sebagai sample; adalah sebuah lembaga perlindungan anak yang ada di Jepang, semula lembaga tersebut merupakan sebuah LSM, namun karena kinerja dan eksistensinya sangat bermakna bagi pemerintah dan masayarakat, maka kemudian lembaga tersebut diformalkan menjadi lembaga negara.
Di Indonesia, secara umum, yang mendasari pembentukan lembaga ini ada dua alasan;
1. Karena tidak adanya lembaga dalam struktur resmi kenegaraan kita yang secara spesifik menangani masalah tersebut, seperti misalnya; Komnas HAM, yang dibentuk sebagai komisi negara pertama yang dibentuk, disampaing sebagai bentuk akomodasi terhadap mengemukanya dorongan wacana penegakan Hak Asasi Manusia, juga dikarenakan tidak adanya lembaga yang secara spesifik menangani masalah Hak Asasi Manusia.
2. Sebagai salah satu kanal bagi terciptanya/terselenggaranya pemerintahan yang bersih dan berwibawa, hal tersebut didasari pada realitas bahwa beberapa lembaga negara dan pemerintahan yang ada belum mampu menjalankan perannya secara optimal, misalnya Komisi Pemilihan Umum dibentuk sebagai alternatif penanganan kasus-kasus korupsi yang sedemikian parah di negeri ini, sebab aparat hukum yang ada (seperti Kepolisian dan Kejaksaan) dianggap tidak mampu menangani masalah tersebut.
Dasar Hukum Lembaga-lembaga tersebut beragam; ada yang berdasarkan Undang-Undang Dasar seperti misalnya Komisi Pemilihan Umum (KPU), Undang-Undang seperti mislanya Komnas HAM, PP, Perpres, Kepmen s
Adapun nama lembaga Kuasi Negara tidak selalu Komisi, namun ada juga yang nama Lembaga, contoh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
Bila diilustrasikan dalam bentuk denah, maka tampilannya seperti di bawah ini;

1. Lembaga Negara  DPR, DPD, MPR, Presiden, MA, MK,
KY, BI, KPU (Eksistensisnya merupakan amanah dari UUD 1945, sementara teknis pengaturan operasionalnya dituangkan dalam bentuk Undang-Undang.
2. Lembaga Pemerintah  Kementrian Negara (Baik yang berbentuk,Menko, Departemen, maupun Non-Departemen), jumlahnya ada 36. Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) ada 25; BIN, BPN, BKPN, BPKP, Badan POM, LIPI, BPPT, BATAN, BAPETEN, BAKOSURTANAL, BPHN.
3. Lembaga Kuasi Negara  Komisi-Komisi (Negara) yang saya maksud, ada-pun dasar pendiriannya ada yang merupakan amanat Undang-Undang Dasar (UUD), UU, Perpres, Kepress dan Kepmen.
Adapun jumlah Komisi Negara yang ada sampai saat ini adalah;
1. Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia)
2. KPAI (Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia), atau juga dikenal sebagai Komnas Anak
3. KPU (Komisi Pemilihan Umum)
4. Komnas Perempuan (Komisi Nasional Perempuan), juga disebut sebagai Komisi Nasional Perlindungan terhadap Perempuan
5. Kompolnas (Komisi Kepolisian Nasional)
6. KY (Komisi Yudisial)
7. KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha)
8. Komisi Kejaksaan
9. KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)
10. Komisi Ombudsman
11. KHN (Komisi Hukum Nasional)
12. Komnas FPBI (Komisi Nasional Flu Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi
Pandemi Influenza, Komisi Nasional Flu Burung)
13. Komnas LANSIA (Komisi Nasional Lanjut Usia)
14. KPI (Komisi Penyiaran Indonesia )
15. Komisi Konstitusi
16. Komisi Pendidikan Nasional
17. Komisi Informasi
18. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
19. Komisi Pengawas Penyeleggaraan Haji
20. Komisi Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh

Selain yang disebutkan di atas, masih ada lagi lembaga Kuasi Negara yang kedudukannya sejajar dengan Komisi-Komisi Negara, namun berbeda namanya, diantaranya;
1. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
2. Konsil Kedokteran Indonesia
3. Komite Nasional Keselamatan Trasnportasi (KNKT)
4. Komite Olah Raga Nasional Indonesia
5. Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK)
6. Komite Antar Depertemen Bidang Kehutanan
7. Komite Penilaian Independen
8. Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK)
9. Komite Standard Nasional Untuk Satuan Ukuran
10. Komite Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak
11. Komite Penanganan Perdagangan Indonesia
12. Komite Anti Dumping Indonesia
Kemudian ada sejumlah lembaga yang namanya berbeda, yaitu menyandang nama Dewan, namun berbeda dari Dewan Perwakilan Rakyat, namun memiliki fungsi yang hampir sama dengan beberapa lembaga yang tersebut di atas, lembaga-lembaga tersebut diantaranya adalah;
1. Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres)
2. Dewan Pers
3. Dewan Maritim Indonesia
4. Dewan Gula Nasional
5. Dewan Ketahanan Pangan
6. Dewan Buku Nasional
7. Dewan Penerbangan Antariksa Nasional
8. Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia
9. Dewan Riset Nasional
10. Dewan Ketahanan Nasional
11. Dewan Pengarah LEMHANAS
12. Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah
Kita juga menemukan sejumlah insititusi negara/pemerintah, yang merupakan penambahan dari sekian banyak yang sudah ada, diantaranya adalah;

1. Lembaga Koordinasi dan Pengendalian Peningkatan Kesejahteraan Penyandang Cacat
2. Lembaga Sensor Film
3. Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum
4. Badan Akreditasi Nasional, Perguruan Tinggi
5. Badan Akreditasi Nasional, Sekolah/Madrasah
6. Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Non Formal
7. Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (LAPINDO?)
8. Badan Pengembangan KAPET
9. Badan Narkotika Nasional
10. Bakornas PBP
11. Badan Pengelolaan Geloran Bung Karno
12. Badan Pengelola Kawasan Kemayoran
13. Badan Pertanahan Nasional
14. Badan Pengelola PUSPITEK
15. Badan Pertimbangan Perfilman Nasional
16. Badan Nasional Sertifikasi Profesi
17. Badan Koordinasi Penempatan TKI

Sebagian kalangan memandang bahwa jumlah Lembaga Kuasi Negara/ Komisi-Komisi Negara tersebut terlalu banyak, sehingga bukan saja merupakan cerminan buruk birokrasi di negeri ini, realitas tersebut juga berimplikasi pada kurang efesiennya anggaran yang harus dikeluarkan oleh pemerintah.