Tuesday, December 29, 2009

Hilangya Ruh “Laskar Pelangi”, Andrea Hirata Harus Bertanggung Jawab

Jarang sekali, bila tak boleh dibilang tidak ada sama sekali, ada sebuah karya sastra di negri ini yang mendapat apresisasi sedemikian luas dan besar dari masyarakat. Bila ada karya sastra yang dinilai fenomenal seringkali tak lebih hanya merupakan sample bagi pencapaian periodisasi dalam karya sastra negeri ini, semisal “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck”, “Sengsara Membawa Nikmat” dan beberapa karya sastra masa lalu, atau bila tidak, karya sastra tersebut hanya diapresiasi oleh kalangan dan komunitas tertentu, semisal novel berjudul “Saman”, atau ada lagi “Supernova” yang meskipun media memberitakan dengan gegap-gempita, namun senyatanya masyarakat yang mengapresiasi karya-karya tersebut sangat terbatas pada beberapa kalangan saja.
Menjadi sebuah pertanyaan ketika tetralogi “Laskar Pelangi” yang ditulis oleh Andrea Hirata, mendapat sambutan yang luar biasa dari masyarakat, bukan saja dari segi kuantitas masyarakat yang mengapresinya, namun juga karya sastra tersebut mampu menembus lintas batas strata sosial, pendidikan dan ‘kelas’ para penikmatnya. Saya pikir, capaian yang didapat oleh “Laskar Pelangi” disebabkan antara lain; ia bukan saja punya energi melimpah bagi para pembacanya, namun sekaligus mampu memberikan stimulus psikologis yang teramat mengesankan, berupa alur cerita yang sangat variatif, pemilihan kata yang sangat cermat, kontens cerita yang orsinil dan dengan pemaparan yang lugas, maka tidak mengherankan bila karya tersebut mampu mengaduk-aduk emosi penikmatnya. “Laskar Pelangi” memberikan pelajaran tanpa harus menggurui, tanpa melawak ia bisa menjadi sangat lucu, dan zonder merintih ia mampu membuat pembacanya larut dalam kesedihan, dan sangat jauh dari keluh kesah serta caci maki. Yang teramat memukau dari karya sastra tersebut, ia merupakan kisah nyata dari para pelakunya, lebih khusus lagi penulisnya.
Penikmat karya tersebut benar-benar dibuat haru-biru oleh apa yang disajikan dalam novel tetralogi “Laskar Pelangi”. Tak pelak dari segi komersial, penjualan buku tersebut merupakan salah satu Best Seller dari sekian karya sastra yang telah ada. Yang lebih membuat miris, disinyalir novel bajakan yang beredar lebih banyak dari novel resminya
Ketika “Laskar Pelangi” hendak difilmkan, sebagian penikmatnya merasa sangat tidak rela, sebab mereka yakin adaptasi novel ke dalam film tersebut pasti akan jauh dari greget yang ada dalam novelnya, baik dari cara mengkisahkannya, alur ceritanya, terlebih lagi dari sisi kemampuan film memvisualisasikan emosi tokoh-tokoh yang ada dalam “Laskar Pelangi”. Belum lagi kalau melihat kapasitas para sineas kita yang teramat memprihatinkan, insan film yang kebanyakan dari mereka masih gemar membuat film-film kacangan dan tak punya nilai artistik sama sekali. Saya sendiri termasuk penikmat “Laskar Pelangi” yang mencoba ‘berbesar hati’ untuk mau menerima kenyataan novel tersebut diadaptasi ke dalam bentuk film.
Begitu film tersebut dilaunching ke masyarakat, sambutannya memang luar biasa, hampir berbanding lurus dengan apresiasi yang diberikan pada novelnya, film “Laskar Pelangi” mampu membuat masyarakat di negeri ini, dari berbagai strata sosial, latar pendidikan, profesi dan juga agama serta budaya, berduyun-duyun mendatangi bioskop. Saya sendiri sampai lima kali mendatangi bioskop baru bisa ‘kebagian jatah’ tiketnya. Sebuah fenomena yang luar biasa bagi industri perfilman Indonesia. Kabar yang beredar, film tersebut mampu membuat 3 juta orang lebih menontonnya, sebuah rekor baru film Indonesia. Dari realitas tersebut memang memunculkan impact yang bisa dijadikan tolok ukur dan pemilah bagi pembaca novelnya, bagi kalangan pembaca novel yang teratamat fanatik dengan “Laskar Pelangi”, yaitu golongan yang sangat tidak rela “Laskar Pelangi” diadaptasikan ke dalam sebuah film, bahkan dalam beberapa interview di televisi Anrdrea Hirata mengaku ‘dimarahi’ oleh kelompok fanantik ini, film tersebut mampu meneguhkan bahwa keyakinan mereka benar adanya, sebuah film sebagus apapun tetap tidak akan mampu memvisualisasikan secara utuh dari sebuah karya sastra berupa novel, disisi lain, bagi penikmat “Laskar Pelangi” yang fanatik namun moderat, kehadiran film dengan judul yang sama, menjadi peneguh kembali adanya keyakinan mereka bahwa ditampilkan dengan karya seni berbentuk apapun, “Laskar Pelangi” tetaplah sebuah karya yang teramat memukau.
Ketika menyaksikan filmnya, sayapun ikut larut dalam alur cerita serta visualisasi yang menurut saya, sebagai salah seorang penikmat novelnya, cukup bagus, dalam artian film tersebut mampu merepresentasikan sebuah kehebatan yang ada dalam bentuk novelnya. Saya merasa tidak sia-sia sudah ‘berbesar hati’ ketika mengetahui dan menerima kenyataan bahwa “Laskar Pelangi” diadaptasikan ke layer lebar.
Dari segi para pemerannya, kita disajikan sebuah peran yang sangat memukau, meski sebagian besar tokoh utamanya adalah anak-anak yang belum pernah sekalipun terlibat dalam seni peran khususnya, dan pembuatan film pada umumnya. Ajaibnya justru tampilnya muka-muka baru tersebut, memberikan sihir tersendiri buat film tersebut, para penonton disajikan dengan penampilan sosok-sosok yang benar-benar mampu merepresentasikan para punggawa “Laskar Pelangi”, penonton seakan-akan dibawa kealam dimana kisah “Laskar Pelangi” lahir dan dikagumi masyarakat, setting lokasinya pun juga sangat representatif sebagiamana yang dikisahkan dalam novelnya, demikian dengan alur ceritanya, meski ia hanya menyajikan sebagian dari sekian kisah yang ada dalam novelnya, namun cukup menjadi wakil “Laskar Pelangi” di layar lebar, pendek kata, film “Laskar Pelangi” benar-benar sebuah karya yang teramat pantas untuk diapresiasi sebagaimana novelnya.
Saat film tersebut usai masa putarnya, kita menyaksikan ada niatan dari produser dan sang penulis untuk membuat film lanjutan sebagaimana novelnya, bahkan dengan sumringah Andrea Hirata mengatakan “tak lama lagi Indonesia akan memiliki sequel film yang banyak digemari masyarakat”. Kita menyambut gembira adanya niatan tersebut, meski tak menutup mata adanya pesimisme di sebagian kalangan. Pesimisme akan kualitas film tersebut, mereka khawatir film lanjutan tidak akan sebagus sequel pertamanya.
Beberapa bulan kemudian, film tersebut diputar di bioskop, tepatnya mulai 17 Desember 2009, meski sebelumnya pernah diputar pada awal Desember 2009 sebagai film pembuka dalam ajang Jakarta International Film Festival (Jiffest). Dengan judul yang sama dengan novelnya yaitu “Sang Pemimpi”.
Sebagai penggemar setia “Laskar Pelangi”, saya pun tak mau ketinggalan menyakiskan film “Sang Pemimpi”, sengaja saya menyaksikan sudah beberapa hari masa putar, sebab saya tidak mau datang ke bioskop namun tak kebagian tiket.
Begitu menyaksikan film tersebut, apa yang dikhawatirkan oleh sebagian kalangan memang benar terjadi, kualitas film “Sang Pemimpi” memang jauh berada dibawah kualitas pendahulunya (“Laskar Pelangi”). Film tersebut benar-benar jauh panggang dari api, sedikitpun ia nyaris tak mampu merepresentasikan kehebatan “Laskar Pelangi”, film yang seakan-akan dibuat hanya sekedar memenuhi target bahwa harus dibuat sebanyak 4 judul, sebagaimana novelnya. Betapa sang pembuat film tidak mampu memindahkan emosi dan energi yang dalam dalam novel “Sang Pemimpi”. Terlebih lagi bila kita melihat bagaimana para pemeran memainkan tokoh-tokoh yang ada dalam novel tersebut, mayoritas dari mereka sangat kaku dan tidak pas, kita disajikan bagaimana pemeran Ikal semasa SMA maupun ketika ia sudah lulus dari SMA, sangat kering dan monoton, ia cuma menjadi tokoh yang bisa cengar-cengir dan terlihat bloon, kontras sekali dengan tokoh Ikal yang ada dalam novelnya, begitu juga Arai ketika sudah diwisuda dan mengikuti seleksi beasiswa di Jakarta, ia menjadi sosok yang teramat kaku dan jauh dari gambaran Ikal yang sebenarnya. Kita hanya bisa menyaksikan tokoh-tokoh “Sang Pemimpi” yang sejati hanya pada sosok Jimbron yang bisa diperankan dengan sangat baik, demikian pula Arai semasa SMA bisa mendekati sosok Arai yang ada dalam novelnya, demikian juga dengan Pak Julian Balia, yang bisa diperankan cukup baik. Selebihnya adalah sosok-sosok yang memperankan tokoh-tokoh dengan kaku dan menjauhkan film tersebut dengan novelnya. Bahkan pembuat film terasa berlebihan ketika menampilkan Taikong Hamim yang mendelik ketika meng-imami sholat berjamaah manakala ia mendengar salah satu jamaah kecilnya (Arai) yang mengamini fatihah dengan suara yang melengking panjang, berlebihan karena memang tidak ada episode tersebut dalam novelnya, juga tidak pernah seorang imam sholat langsung bereaksi ketika ada salah seorang jamaahnya yang ‘bandel’. Pun dengan tampilan ibunya Ikal, yang nampak kusut, tua dan kelam, sangat tidak mampu merepresentasikan ibundanya Ikal yang ada dalam novel. Berlebihan juga ketika menampilkan Zakiah Nurmala Binti Mahmud yang melambaikan tangan ketika Arai dan Ikal naik kapal hendak menuju Jakarta, sebab dalam novelnya, lakon itu memang tidak pernah ada. Zakiah Nurmala benar-benar menerima Arai setelah Arai menyelesaikan pendidikan S2 nya. Pendek kata film “Sang Pemimpi” justru menghilangkan roh “Laskar Pelangi” yang demikian hebat dan berenergi.
Musabab sampai terjadi sebagaimana tersebut diatas, dintaranya; kekeliruan pembuat film dalam memilih figur yang memerankan beberapa tokoh dalam film tersebut, semisal sosok Ikal, nampak tidak bisa benar-benar menjiwai apa yang harus dipernakannya, sosok Ikal sejati hanya bisa kita saksikan dalam diri Ikal ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Dari awal hingga akhir, film “Sang Pemimpi” benar-benar tidak mampu mempertemukan penonton dengan Ikal yang sebenarnya, Ikal yang begitu mempesona seperti ketika ia masih SD (“Laskar Pelangi”). Demikian juga dengan sosok Arai semasa ia lulus kuliah, pemilihan figur yang sudah dikenal masyarakat untuk memerankan tokoh ini justru serasa kurang pas, baik dari segi tampilan fisik yang jelas sangat berbeda dengan Arai semasa SMA, maupun cara ia memerankan sosok tersebut terasa hambar dan tidak punya jiwa, belum lagi sebagian masyarakat kita yang sudah mengenal dengan baik sang pemeran Arai (dewasa) justru membuat peran dan fungsinya terasa dangkal dan hambar.
Andrea Hirata Harus Bertanggung Jawab
Ibarat proyek film “Laskar Pelangi” adalah sebuah tim sepakbola, maka Andrea Hirata adalah ownernya, ia bukan saja berkewajiban membuat tim tersebut memenangi setiap pertandingan, namun juga harus membuat para supporternya tehibur dan puas dengan penampilannya, dengan demikian ia harus memilih manajer tim dan pelatih yang handal dan serius serta berpengalaman meracik tim tersebut.
Bila analogi di atas diaplikasikan pada proyek film “Laskar Pelangi”, film “Sang Pemimpi” ibarat tim sepakbola sedang mendekati jurang kehancuran, perjalanan kompetisi sudah melalui setengahnya, namun perjalan kedepan justru episode-episode yang tak kalah menantang, Andrea harus segera membuat evaluasi secara obyektif dan menyeluruh, agar kelanjutan proyek “Laskar Pelangi” tetap terjaga dan tidak kekurangan greget. Andrea harus berbesar hati untuk mengakui bahwa kinerja yang ditujukkan oleh penggarap “Sang Pemimpi” sudah mulai kedodoran. Bila dipandang perlu, Andrea harus beralih pada sineas lain yang memang sudah cukup piawi dan berpengalaman dalam penggarapan film yang berkualitas. Andrea juga harus tegas untuk secepatnya mencari sosok pengganti yang bisa memerankan Arai dan Ikal dalam babak selanjutnya, sehingga penonton ketika menyakiskan film tersebut tidak lagi dijauhkan dari novel yang telah meraka baca. Hal tersebut sangat penting mengingat tanggung jawab dia untuk tidak mendistorsi kehebatan tetralogi “Laskar Pelangi” ketika ditampilkan di layer lebar, sehingga ruh “Laskar Pelangi” tetap terpelihara sehebat yang ada dalam novelnya. Yang tak kalah pentingnya adalah ‘kemarahan’ penggemar fanatik “Laskar Pelangi” tidak kian menjadi-jadi, manakala film-film nya berkualitas buruk.
Kita selaku penikmat karyanya, menanti apakah ia mau melakukannya? Bila tidak, kita hanya akan menyakiskan segunung kekecewaan dan kemarahan pengagum “Laskar Pelangi”.
Sebaliknya, bila ia mampu bertanggung jawab, niscaya kita menjadi saksi sejarah betapa karya sastra kita juga mampu ditampilkan di layar lebar dengan sequel yang tak kalah memumaku dengan produksi Holywood, kita juga akan bisa melihat bagaimana girangnya Arai ketika tahu bahwa Zakiah Nurmala Binti Mahmud mau menerimanya.
Wallohu’alam bisshowab

Monday, December 14, 2009

Penerbit dan Problematikanya , Catatan Road Show ke Beberapa Penerbit di Jakarta

Dalam rangka menjajaki dan menawarkan kerjasama penjualan buku, saya mendatangi beberpa penerbit yang ada di Jakarta, baik merupakan kantor pusat maupun yang sekedar cabang, dari beberapa penerbit yang saya datangi saya bisa memberikan catatan sebagai berikut;

- Pada umumnya penerbit menyambut dengan senang hati atas tawaran kerja sama yang saya sampaikan

- Margin yang ditawarkan oleh penerbit berkisar antara 25-30%, dan rata-rata masih bisa naik lagi jika pembelian dalam jumlah banyak, dengan negosiasi, namun ada juga yang langsung mematok discount 35%

- Beberapa bersedia mengirim ke saya, dengan biaya tertentu, tapi mayoritas tidak mau mengirim langsung ke costumer saya, kecuali Grasindo

- Semakin besar penerbit, maka sambutan dan layanan yang diberikan semakin berkualitas

Selain dari catatan di atas, hal menarik lain yang saya dapatkan ketika bertemu dengan penerbit diantaranya curhat yang mereka sampaikan kepada saya,

- Penerbit yang sudah tua dan tidak mau me’remaja’kan sistem maupun awaknya cenderung mendekati jurang kebangkrutan

- Ada penerbit yang sudah eksis sejak tahun 1960-an mengeluhkan maraknya persaingan yang tidak sehat di bisnis perbukuan Indonesia, diantara bentuk (persaingan tidak sehat) yang dimaksud adalah; menggejalanya tren penjiplakan buku yang laku di pasaran, maksudnya adalah banyak penerbit lain yang menerbitkan buku yang diketahui laku di pasaran, mereka menerbitkan dengan ‘hanya’ mengubah tampilan ataupun cover buku yang sudah diterbitkan oleh penerbit lain, buku jiplakan tersebut umumnya adalah buku terjemahan, tak jarang penerbit dengan metode penjiplakan tersebut tampil dengan perwajahan yang lebih ‘fresh’ dibandingkan dengan penerbit aslinya. Bahkan yang lebih ironis model penjiplakan tersebut merambah sampai ke beberapa negara tetangga, yang nota bene masih serumpun dalam penggunaan bahasa, yaitu bahasa Melayu.

- Salah seorang owner menyampaikan keluhan dengan munculnya konglomerasi baru di bisnis perbukuan atau penerbitan. Ia mengindikasikan bahwa penerbit tersebut sudah menguasai semua lini dan divisi dalam dunia perbukuan, mereka membuat Salah satu raksasa penerbitan di Jakarta

Thursday, December 10, 2009

Curhat Prita Mulyasari

Inilah tulisan curahan hati seorang Prita Mulyasari mengenai apa yang dialaminya di Rumah Sakit Omni International. Tulisan ini membuat Rumah Sakit tersebut meradang, kemudian menuntut Ibu Prita Mulyasari ke pengadilan, dengan tuntutan Perdata maupun pidana. Selengkapnya dapat Anda baca sebagai berikut

RS OMNI DAPATKAN PASIEN DARI HASIL LAB FIKTIF

Prita Mulyasari – suaraPembaca

Jangan sampai kejadian saya ini menimpa ke nyawa manusia lainnya.
Terutama anak-anak, lansia, dan bayi. Bila anda berobat berhati-hatilah dengan kemewahan rumah sakit (RS) dan title international karena semakin mewah RS dan semakin pintar dokter maka semakin sering uji coba pasien, penjualan obat, dan suntikan.

Saya tidak mengatakan semua RS international seperti ini tapi saya mengalami kejadian ini di RS Omni International. Tepatnya tanggal 7 Agustus 2008 jam 20.30 WIB. Saya dengan kondisi panas tinggi dan pusing kepala datang ke RS OMNI Internasional dengan percaya bahwa RS tersebut berstandar International, yang tentunya pasti mempunyai ahli
kedokteran dan manajemen yang bagus.
Saya diminta ke UGD dan mulai diperiksa suhu badan saya dan hasilnya
39 derajat. Setelah itu dilakukan pemeriksaan darah dan hasilnya
adalah trombosit saya 27.000 dengan kondisi normalnya adalah 200.000.
Saya diinformasikan dan ditangani oleh dr I (umum) dan dinyatakan saya
wajib rawat inap. dr I melakukan pemeriksaan lab ulang dengan sample
darah saya yang sama dan hasilnya dinyatakan masih sama yaitu
thrombosit 27.000. dr I menanyakan dokter specialist mana yang akan saya gunakan. Tapi, saya meminta referensi darinya karena saya sama sekali buta dengan RS
ini. Lalu referensi dr I adalah dr H. dr H memeriksa kondisi saya dan
saya menanyakan saya sakit apa dan dijelaskan bahwa ini sudah positif
demam berdarah.
Mulai malam itu saya diinfus dan diberi suntikan tanpa penjelasan atau
izin pasien atau keluarga pasien suntikan tersebut untuk apa. Keesokan
pagi, dr H visit saya dan menginformasikan bahwa ada revisi hasil lab
semalam. Bukan 27.000 tapi 181.000 (hasil lab bisa dilakukan revisi?).
Saya kaget tapi dr H terus memberikan instruksi ke suster perawat
supaya diberikan berbagai macam suntikan yang saya tidak tahu dan
tanpa izin pasien atau keluarga pasien.
Saya tanya kembali jadi saya sakit apa sebenarnya dan tetap masih sama
dengan jawaban semalam bahwa saya kena demam berdarah. Saya sangat
khawatir karena di rumah saya memiliki 2 anak yang masih batita. Jadi
saya lebih memilih berpikir positif tentang RS dan dokter ini supaya
saya cepat sembuh dan saya percaya saya ditangani oleh dokter
profesional standard Internatonal.
Mulai Jumat terebut saya diberikan berbagai macam suntikan yang setiap
suntik tidak ada keterangan apa pun dari suster perawat, dan setiap
saya meminta keterangan tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan.
Lebih terkesan suster hanya menjalankan perintah dokter dan pasien
harus menerimanya. Satu boks lemari pasien penuh dengan infus dan
suntikan disertai banyak ampul.
Tangan kiri saya mulai membengkak. Saya minta dihentikan infus dan
suntikan dan minta ketemu dengan dr H. Namun, dokter tidak datang
sampai saya dipindahkan ke ruangan. Lama kelamaan suhu badan saya
makin naik kembali ke 39 derajat dan datang dokter pengganti yang saya
juga tidak tahu dokter apa. Setelah dicek dokter tersebut hanya
mengatakan akan menunggu dr H saja.
Esoknya dr H datang sore hari dengan hanya menjelaskan ke suster untuk
memberikan obat berupa suntikan lagi. Saya tanyakan ke dokter tersebut
saya sakit apa sebenarnya dan dijelaskan saya kena virus udara. Saya
tanyakan berarti bukan kena demam berdarah. Tapi, dr H tetap
menjelaskan bahwa demam berdarah tetap virus udara. Saya dipasangkan
kembali infus sebelah kanan dan kembali diberikan suntikan yang sakit
sekali.

Malamnya saya diberikan suntikan 2 ampul sekaligus dan saya terserang
sesak napas selama 15 menit dan diberikan oxygen. Dokter jaga datang
namun hanya berkata menunggu dr H saja.
Jadi malam itu saya masih dalam kondisi infus. Padahal tangan kanan
saya pun mengalami pembengkakan seperti tangan kiri saya. Saya minta
dengan paksa untuk diberhentikan infusnya dan menolak dilakukan
suntikan dan obat-obatan.
Esoknya saya dan keluarga menuntut dr H untuk ketemu dengan kami.
Namun, janji selalu diulur-ulur dan baru datang malam hari. Suami dan
kakak-kakak saya menuntut penjelasan dr H mengenai sakit saya,
suntikan, hasil lab awal yang 27.000 menjadi revisi 181.000 dan
serangan sesak napas yang dalam riwayat hidup saya belum pernah
terjadi. Kondisi saya makin parah dengan membengkaknya leher kiri dan
mata kiri. dr H tidak memberikan penjelasan dengan memuaskan. Dokter tersebut
malah mulai memberikan instruksi ke suster untuk diberikan obat-obatan
kembali dan menyuruh tidak digunakan infus kembali. Kami berdebat
mengenai kondisi saya dan meminta dr H bertanggung jawab mengenai ini
dari hasil lab yang pertama yang seharusnya saya bisa rawat jalan
saja. dr H menyalahkan bagian lab dan tidak bisa memberikan keterangan
yang memuaskan.
Keesokannya kondisi saya makin parah dengan leher kanan saya juga
mulai membengkak dan panas kembali menjadi 39 derajat. Namun, saya
tetap tidak mau dirawat di RS ini lagi dan mau pindah ke RS lain.
Tapi, saya membutuhkan data medis yang lengkap dan lagi-lagi saya
dipermainkan dengan diberikan data medis yang fiktif.
Dalam catatan medis diberikan keterangan bahwa bab (buang air besar)
saya lancar padahal itu kesulitan saya semenjak dirawat di RS ini tapi
tidak ada follow up-nya sama sekali. Lalu hasil lab yang diberikan
adalah hasil thrombosit saya yang 181.000 bukan 27.000.
Saya ngotot untuk diberikan data medis hasil lab 27.000 namun sangat
dikagetkan bahwa hasil lab 27.000 tersebut tidak dicetak dan yang
tercetak adalah 181.000. Kepala lab saat itu adalah dr M dan setelah
saya komplain dan marah-marah dokter tersebut mengatakan bahwa catatan
hasil lab 27.000 tersebut ada di Manajemen Omni. Maka saya desak untuk
bertemu langsung dengan Manajemen yang memegang hasil lab tersebut.

Saya mengajukan komplain tertulis ke Manajemen Omni dan diterima oleh
Og(Customer Service Coordinator) dan saya minta tanda terima. Dalam
tanda terima tersebut hanya ditulis saran bukan komplain. Saya
benar-benar dipermainkan oleh Manajemen Omni dengan staff Og yang
tidak ada service-nya sama sekali ke customer melainkan seperti
mencemooh tindakan saya meminta tanda terima pengajuan komplain
tertulis.

Dalam kondisi sakit saya dan suami saya ketemu dengan manajemen. Atas
nama Og (Customer Service Coordinator) dan dr G (Customer Service
Manager) dan diminta memberikan keterangan kembali mengenai kejadian
yang terjadi dengan saya.
Saya benar-benar habis kesabaran dan saya hanya meminta surat
pernyataan dari lab RS ini mengenai hasil lab awal saya adalah 27.000
bukan 181.000. Makanya saya diwajibkan masuk ke RS ini padahal dengan
kondisi thrombosit 181.000 saya masih bisa rawat jalan.
Tanggapan dr G yang katanya adalah penanggung jawab masalah komplain
saya ini tidak profesional sama sekali. Tidak menanggapi komplain
dengan baik. Dia mengelak bahwa lab telah memberikan hasil lab 27.000
sesuai dr M informasikan ke saya. Saya minta duduk bareng antara lab,
Manajemen, dan dr H. Namun, tidak bisa dilakukan dengan alasan akan
dirundingkan ke atas (Manajemen) dan berjanji akan memberikan surat
tersebut jam 4 sore.
Setelah itu saya ke RS lain dan masuk ke perawatan dalam kondisi saya
dimasukkan dalam ruangan isolasi karena virus saya ini menular.
Menurut analisa ini adalah sakitnya anak-anak yaitu sakit gondongan
namun sudah parah karena sudah membengkak. Kalau kena orang dewasa
laki-laki bisa terjadi impoten dan perempuan ke pankreas dan kista.

Saya lemas mendengarnya dan benar-benar marah dengan RS Omni yang
telah membohongi saya dengan analisa sakit demam berdarah dan sudah
diberikan suntikan macam-macam dengan dosis tinggi sehingga mengalami
sesak napas. Saya tanyakan mengenai suntikan tersebut ke RS yang baru
ini dan memang saya tidak kuat dengan suntikan dosis tinggi sehingga
terjadi sesak napas.
Suami saya datang kembali ke RS Omni menagih surat hasil lab 27.000
tersebut namun malah dihadapkan ke perundingan yang tidak jelas dan
meminta diberikan waktu besok pagi datang langsung ke rumah saya.
Keesokan paginya saya tunggu kabar orang rumah sampai jam 12 siang
belum ada orang yang datang dari Omni memberikan surat tersebut.

Saya telepon dr G sebagai penanggung jawab kompain dan diberikan
keterangan bahwa kurirnya baru mau jalan ke rumah saya. Namun, sampai
jam 4 sore saya tunggu dan ternyata belum ada juga yang datang ke
rumah saya. Kembali saya telepon dr G dan dia mengatakan bahwa sudah
dikirim dan ada tanda terima atas nama Rukiah.
Ini benar-benar kebohongan RS yang keterlaluan sekali. Di rumah saya
tidak ada nama Rukiah. Saya minta disebutkan alamat jelas saya dan
mencari datanya sulit sekali dan membutuhkan waktu yang lama. LOgkanya
dalam tanda terima tentunya ada alamat jelas surat tertujunya ke mana
kan? Makanya saya sebut Manajemen Omni pembohon besar semua. Hati-hati
dengan permainan mereka yang mempermainkan nyawa orang.
Terutama dr G dan Og, tidak ada sopan santun dan etika mengenai
pelayanan customer, tidak sesuai dengan standard international yang RS
ini cantum.
Saya bilang ke dr G, akan datang ke Omni untuk mengambil surat
tersebut dan ketika suami saya datang ke Omni hanya dititipkan ke
resepsionis saja dan pas dibaca isi suratnya sungguh membuat sakit
hati kami.
Pihak manajemen hanya menyebutkan mohon maaf atas ketidaknyamanan kami
dan tidak disebutkan mengenai kesalahan lab awal yang menyebutkan
27.000 dan dilakukan revisi 181.000 dan diberikan suntikan yang
mengakibatkan kondisi kesehatan makin memburuk dari sebelum masuk ke
RS Omni.
Kenapa saya dan suami saya ngotot dengan surat tersebut? Karena saya
ingin tahu bahwa sebenarnya hasil lab 27.000 itu benar ada atau fiktif
saja supaya RS Omni mendapatkan pasien rawat inap.
Dan setelah beberapa kali kami ditipu dengan janji maka sebenarnya
adalah hasil lab saya 27.000 adalah fiktif dan yang sebenarnya saya
tidak perlu rawat inap dan tidak perlu ada suntikan dan sesak napas
dan kesehatan saya tidak makin parah karena bisa langsung tertangani
dengan baik.
Saya dirugikan secara kesehatan. Mungkin dikarenakan biaya RS ini
dengan asuransi makanya RS ini seenaknya mengambil limit asuransi saya
semaksimal mungkin. Tapi, RS ini tidak memperdulikan efek dari
keserakahan ini.
Sdr Og menyarankan saya bertemu dengan direktur operasional RS Omni
(dr B). Namun, saya dan suami saya sudah terlalu lelah mengikuti
permainan kebohongan mereka dengan kondisi saya masih sakit dan
dirawat di RS lain.
Syukur Alhamdulilah saya mulai membaik namun ada kondisi mata saya
yang selaput atasnya robek dan terkena virus sehingga penglihatan saya
tidak jelas dan apabila terkena sinar saya tidak tahan dan ini
membutuhkan waktu yang cukup untuk menyembuhkan.
Setiap kehidupan manusia pasti ada jalan hidup dan nasibnya
masing-masing. Benar. Tapi, apabila nyawa manusia dipermainkan oleh
sebuah RS yang dipercaya untuk menyembuhkan malah mempermainkan
sungguh mengecewakan.
Semoga Allah memberikan hati nurani ke Manajemen dan dokter RS Omni
supaya diingatkan kembali bahwa mereka juga punya keluarga, anak,
orang tua yang tentunya suatu saat juga sakit dan membutuhkan medis.
Mudah-mudahan tidak terjadi seperti yang saya alami di RS Omni ini.

Saya sangat mengharapkan mudah-mudahan salah satu pembaca adalah
karyawan atau dokter atau Manajemen RS Omni. Tolong sampaikan ke dr G,
dr H, dr M, dan Og bahwa jangan sampai pekerjaan mulia kalian sia-sia
hanya demi perusahaan Anda. Saya informasikan juga dr H praktek di
RSCM juga. Saya tidak mengatakan RSCM buruk tapi lebih hati-hati
dengan perawatan medis dari dokter ini.
Salam,
Prita Mulyasar
Alam Sutera

Tuesday, December 08, 2009

Lionel Messi dan Daftar Pemain Sepak Bola Terbaik Benua Eropa

Penghargaan sebagai pemain tebaik Eropa diberikan setiap tahun, penghargaan yang kemudian dikenal dengan nama Ballon d’Or tersebut diberikan oleh majalah olahraga Prancis, France Football. Prosesi penganugrahan kali ini diselenggarakan pada 1 Desember 2009, adapun pemain yang mendapat anugrah tersebut adalah pemain berasal dari Argentina, yang sudah beberapa musim membela Barcelona, Lionel Messi. Messi mendapat point yang sangat fantastis, 473 poin, dari total kemungkinan 480 poin. Sebagian besar dari 96 anggota dewan merupakan wartawan dari seluruh dunia menjatuhkan pilihan kepada Messi.

Lionel Messi sudah harus menunggu 3 tahun, sampai akhirnya ia berhasil merengkuh penghargaan tersebut, uniknya, sebelum ia mendapat anugrah tahun ini, ia dua kali masuk nominasi, pada 2007 Messi hanya menempati peringkat ketiga, dibawah Kaka dan Ronaldo, kemudian pada 2008 Messi berada pada posisi kedua dibawah Cristiano Ronaldo.

Penghargaan yang sudah diadakan selama lebih dari setengah abad ini memberikan apresiasi penting kepada para pemain sepakbola bertalenta besar yang membela tim-tim di daratan Eropa, penghargaan diberikan kepada mereka, meskipun mereka bukan warga negara Benua Biru, Eropa. Selengkapanya para peraih penghargaan tersebut adalah sebagai berikut;

No.

Nama Pemain

Tahun

Negara Asal

Bermain di Klub

01

Stanley Matthews

1956

Inggris

Blackpool

02

Alfredo di Stefano

1957

Spanyol

Real Madrid

03

Raymond Kopa

1958

Prancis

Real Madrid

04

Alfredo di Stefano

1959

Spanyol

Real Madrid

05

Luis Suarez

1960

Spanyol

Barcelona

06

Omar Sivori

1961

Italia

Juventus

07

Josef Masopust

1962

Cekoslovakia

Dukia Praha

08

Lev Yashin

1963

Uni Soviet

Dynamo Moskwa

09

Denis Law

1964

Scotlandia

Manchester United

10

Eusebio

1965

Portugal

Benfica

11

Bobby Charlton

1966

Inggris

Manchester United

12

Florian Albert

1967

Hungaria

Farencvarous

13

George Best

1968

Irlandia Utara

Manchester United

14

Gianni Rivera

1969

Italia

AC Milan

15

Gerd Muller

1970

Jerman Barat

Bayern Muenchen

16

Johan Cruyff

1971

Belanda

Ajax Amesterdam

17

Franz Beckenbauer

1972

Jerman Barat

Bayern Muenchen

18

Johan Cruyff

1973

Belanda

Barcelona

19

Johan Cruyff

1974

Belanda

Barcelona

20

Oleg Blokhin

1975

Soviet

Dynamo Kiev

21

Franz Beckenbauer

1976

Jerman Barat

Bayern Muenchen

22

Allan Simonsen

1977

Denmark

Borussia Muenchengladbach

23

Kevin Keegan

1978

Inggris

Hamburg

24

Kevin Keegan

1979

Inggris

Hamburg

25

Karl-Heinz Rummenegge

1980

Jerman Barat

Bayern Muenchen

26

Karl-Heinz Rummenegge

1981

Jerman Barat

Bayern Muenchen

27

Paolo Rossi

1982

Italia

Juventus

28

Michel Platini

1983

Prancis

Juventus

29

Michel Platini

1984

Prancis

Juventus

30

Michel Platini

1985

Prancis

Juventus

31

Igor Balanov

1986

Uni Soviet

Dynamo Kiev

32

Ruud Gullit

1987

Belanda

AC Milan

33

Marco Van Basten

1988

Belanda

AC Milan

34

Marco Van Basten

1989

Belanda

AC Milan

35

Lothar Matthaus

1990

Jerman Barat

Inter Milan

36

Jean-Pierre Papin

1991

Prancis

Marseille

37

Marco Van Basten

1992

Belanda

AC Milan

38

Roberto Baggio

1993

Italia

Juventus

39

Hristo Stoichkov

1994

Bulgaria

Barcelona

40

George Weah

1995

Liberia

AC Milan

41

Matthias Sammer

1996

Jerman

Borussia Dortmunt

42

Ronaldo

1997

Brasil

Inter Milan

43

Zinedene Zidane

1998

Prancis

Juventus

44

Rivaldo

1999

Brasil

Barcelona

45

Luis Figo

2000

Portugal

Real Madrid

46

Michel Owen

2001

Inggris

Liverpool

47

Ronaldo

2002

Brasil

Real Madrid

48

Pavel Nedved

2003

Ceska

Juventus

49

Andriy Shevchenko

2004

Ukrania

AC Milan

50

Ronaldinho

2005

Brasil

Barcelona

51

Fabio Cannavaro

2006

Italia

Real Madrid

52

Ricardo Kaka

2007

Brasil

AC Milan

53

Cristiano Ronaldo

2008

Portugal

Manchester United

54

Lionel Messi

2009

Argentina

Barcelona