Thursday, December 18, 2008

Percik Permenungan


“…….Ini adalah pertarungan antara Kapitlisme Anglo Saxon dengan Kapitalisme Eropa Daratan”

Demikian kata Christine Lagarde, Menteri Keuangan Prancis, dalam pertemuan di Sao Paolo Brazil, menjelang pertemuan G 20, pada minggu pertama November 2008 lalu, ia tengah mengambarkan perdebatan yang terjadi dalam pertemuan tersebut, pokok masalah perdebatan adalah; apakah ekonomi liberal yang ada saat ini dibiarkan sebebas-bebasnya sehingga dengan sendirinya pada saatnya nanti akan mencapai titik keseimbangan, atau masih tetap diperlukan adanya regulasi dari pemerintah.

Dari kejadian diatas, semakin menyadarkan kita bahwa saat ini praktis yang menguasai ideologi ekonomi dan politik adalah kaum kapitalis, yang sepanjang sejarah belum pernah mampu membuat masyarakat penghuni planet bumi ini hidup dalam kemakmuran, kesejahteraan dan kedamaian. Namun sebaliknya, yang terjadi adalah ketimpangan, krisis berkepanjangan, perebutan sumber-sumber daya strategis yang membuat dunia semakin runyam dan menjauhkan perdamian.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, adakah ideologi yang akan mampu segera mengantikan kapitalisme (liberal) saat ini? Komunisme yang semula hendak muncul sebagai ‘penyeimbang’ merajalelanya kapitalisme dan liberalisme, kini sudah dibuang ke tempat sampah peradaban dunia ini.

Tentu kita tidak sepakat dengan apa yang diproklamirkan oleh Franscis Fukuyama, seorang ilmuwan yang sangat membanggakan kapitalisme liberal, menurutnya, kita sekarang ini sudah sampai pada titik “the end of ideology”, dimana ideologi kapitalisme dalam bidang ekonomi, dan liberalisme dalam wilayah politik adalah puncak pencapaian pemikiran manusia dalam menjaga, menata dan menyiasati kelangsungan kehidupannya.

Sebab bila kita menganut apa yang ia proklamirkan tersebut, niscaya dunia yang aman damai, sejahtera dan makmur serta berkeadilan hanya akan menjadi angan semata, fakta empiris membuktikan, sebagaimana yang kita rasakan saat ini, dimana ideology kapitalisme dan liberalisme tengah jumawa mencengkeram kehidupan umat manusia.

Satu-satunya harapan yang dapat kita bersandar padanya adalah; Islam, ya Islam dengan segala kelebihan yang ada, cepat atau lambat akan segera mampu menciptakan tata dunia baru,

Meski kita tak bisa menutup mata, bahwa saat ini para pemeluk Islam tengah mengalami aneka problem yang akut, tidak lain dan tidak bukan lebih disebabkan oleh mereka sendiri, dari mulai mereka yang terpesona oleh kilaunya ‘keberhasilan’ para penganut idologi kapitalisme, sampai pada mereka (sesama muslim) yang rajin saling menyalahkan, dan gemar memonopoli kebenaran, sehingga wajar bila Islam, sebuah nilai luhur nana gung yang semestinya mampu menjadi idelogi alternatiif bagi tercipnya tata dunia baru yang menghargai manusia dan kemanusiaan, menghargai prestasi tanpa harus manfikan yang termarjinalisasi, mengedepankan pemerataan namun juga care terhadap mereka yang terbelakang.

Bila Ibu Boleh Memilih

Anakku,…
Bila ibu boleh memilih
Apakah ibu berbadan langsing atau berbadan besar karena mengandungmu
Maka ibu akan memilih mengandungmu…
Karena dalam mengandungmu ibu merasakan keajaiban dan kebesaran Allah

Sembilan bulan nak,… engkau hidup di perut ibu
Engkau ikut kemanapun ibu pergi
Engkau ikut merasakan ketika jantung ibu berdetak karena kebahagiaan
Engkau menendang rahim ibu ketika engkau merasa tidak nyaman, karena ibu kecewa dan berurai air mata…

Anakku,…
Bila ibu boleh memilih apakah ibu harus operasi caesar atau ibu harus berjuang melahirkanmu
Maka ibu memilih berjuang melahirkanmu
Karena menunggu dari jam ke jam, menit ke menit kelahiranmu
Adalah seperti menunggu antrian memasuki salah satu pintu surga
Karena kedahsyatan perjuanganmu untuk mencari jalan ke luar ke dunia sangat ibu rasakan
Dan saat itulah kebesaran Allah menyelimuti kita berdua
Malaikat tersenyum diantara peluh dan erangan rasa sakit,
Yang tak pernah bisa ibu ceritakan kepada siapapun

Dan ketika engkau hadir, tangismu memecah dunia
Saat itulah… saat paling membahagiakan
Segala sakit & derita sirna melihat dirimu yang merah,
Mendengarkan ayahmu mengumandangkan adzan,
Kalimat syahadat kebesaran Allah dan penetapan hati tentang junjungan kita Rasulullah di telinga mungilmu

Anakku,…
Bila ibu boleh memilih apakah ibu berdada indah, atau harus bangun tengah malam untuk menyusuimu,
Maka ibu memilih menyusuimu,
Karena dengan menyusuimu ibu telah membekali hidupmu dengan tetesan-tetesan dan tegukan tegukan yang sangat berharga
Merasakan kehangatan bibir dan badanmu didada ibu dalam kantuk ibu,
Adalah sebuah rasa luar biasa yang orang lain tidak bisa rasakan

Anakku,…
Bila ibu boleh memilih duduk berlama-lama di ruang rapat
Atau duduk di lantai menemanimu menempelkan puzzle
Maka ibu memilih bermain puzzle denganmu

Tetapi anakku…
Hidup memang pilihan…
Jika dengan pilihan ibu, engkau merasa sepi dan merana
Maka maafkanlah nak…
Maafkan ibu…
Maafkan ibu…
Percayalah nak, ibu sedang menyempurnakan puzzle kehidupan kita,
Agar tidak ada satu kepingpun bagian puzzle kehidupan kita yang hilang
Percayalah nak…
Sepi dan ranamu adalah sebagian duka ibu
Percayalah nak…
Engkau adalah selalu menjadi belahan nyawa ibu…

Ratih Sanggarwati (Ratih Sang)
Jakarta, 21 Agustus 2004


Dikutip dari Bila Ibu Boleh Memilih, kumpulan puisi hati Ratih Sanggarwati.

Friday, July 11, 2008

Pelajaran Bagi yang Ingin Berkoalisi

Sebuah koalisi partai dimungkinkan oleh banyak faktor, di antaranya karena adanya kesamaan platform di antara partai yang akan berkoalisi tersebut. Platform yang dimaksud termasuk dalam masalah agama dan ekonomi. Tapi, koalisi juga bisa dibangun atas dasar kepentingan politik murni, yakni untuk mendapatkan jabatan publik strategis dan kemudian membagi-baginya di antara sesama peserta koalisi. (Saiful Mujani, 2004)

Bila kita bersedia me-review kembali ingatan kita ke era 1999, kita ingat pada saat tersebut bangsa ini nyaris terjerembab kedalam satu situasi yang menyerupai sebuah kebuntuan politik pasca pemilu legislatif, hal tersebut terjadi setelah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) keluar sebagai pemenang pemilihan umum pada waktu itu, dimana semenjak awal PDIP sudah keukueh untuk mencalonkan ketua umumnya, yaitu Megawati Soekarno Putri, sebagai presiden RI, sementara itu di kalangan Islam, yang dalam hal ini direpresentasikan oleh partai-partai Islam mengemuka mainstream tegas yang menolak kepemimpinan Megawati bukan saja karena jenis kelaminnya (yang perempuan), juga karena PDIP dinisbahkan sebagai kelompok sekuler. Pada saat yang sama, Partai Golongan Karya yang meraih suara kedua dalam pemilu tersebut, masih memanggul dosa sejarah sebagai kelompok yang terkait dengan Orde Baru.

Akhirnya, setelah melalui serangkaian pergulatan yang dinamis dan unik, sejarah mencatat lahirnya satu koalisi yang menengahi ketegangan tersebut, menawarkan pilihan alternatif atas kebuntuan politik yang terjadi pada waktu itu, meskipun diwarnai dengan kekecewaan pihak PDIP (sebagai pemenang Pemilu), kelompok yang menamakan diri sebagai Poros Tengah tersebut memenangkan pertarungan dengan mengusung Abdurrahman Wahid sebagai presiden RI keempat.

Dari fenomena lahirnya Poros Tengah, kita dapat menarik garis, meskipun garis tersebut ‘samar dan putus-putus’, platform keagamaanlah yang menyatukan partai-partai tersebut mengusung Abdurrahman Wahid sebagai presiden RI keempat, melalui suatu koalisi yang berlabel Poros Tengah. Hal tersebut diindikasikan oleh menguatnya penolakan dari kalangan Islam terhadap Megawati dan PDIP memimpin negeri ini dikarenakan dua sebab diatas. Kita mencatat, beberapa waktu sebelum kelahiran Poros Tengah, pada waktu itu para tokoh partai-partai Islam sangat gencar menggalang kekuatan untuk menolak kepeimpinan Megawati Soekarno Putri, salah satu bahasa yang dikemukakan oleh mereka pada waktu itu adalah adanya kesamaan platform.

Meskipun tak dapat dipungkiri bahwa kesimpulan adanya kesamaan platform sebagai embrio lahirnya Poros Tengah terkesan menyederhanakan persoalan, sebab bila begitu kita bisa memunculkan pertanyaan; adakah koalisi Poros Tengah pada waktu itu memang murni semata didasari oleh platform keagamaan yang sama diantara partai-partai tersebut? Sebab bila jawabannya ia, maka kita menemukan kerancuan bila kelompok (Poros Tengah) tersebut ditasbihkan sebagai koalisi yang platformnya sama, karena Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Amanat Nasional sebagai pendukung Poros Tengah, meski pada kenyataannya berbasis massa atau konstituen Islam, namun keduanya tidak pernah menetapkan diri mereka sebagai partai Islam, vis a vis dengan partai-partai yang memang jelas dan tegas menyatakan diri sebagai partai Islam, yaitu; Partai Persatuan Pembangunan, Partai Keadilan (yang sekarang bernama Partai Keadilan Sejahtera) dan Partai Bulan Bintang. Namun mau tidak mau harus diakui bahwa, salah satu yang mendasari lahirnya Poros Tengah adalah sebagai akibat dari menguatnya anggapan bahwa PDIP dan Megawati sebagai pemenang pemilu adalah representasi kelompok sekuler.

Terlepas dari prematur atau tidaknya kesimpulan bahwa kesamaan platform yang mendasari lahirnya Poros Tengah, namun tetaplah orang mempersepsikan bahwa lahirnya Poros Tengah adalah lebih didasari oleh menguatnya dikotomi Islam versus Sekuler pada waktu itu. Artinya faktor keagamaan menjadi landasan bagi lahirnya sebuah koalisi.

Seiring perjalanan waktu, kita dapati dalam realitas dalam perpolitikan kita, bahwa pada kenyataannya; dari sekian banyak koalisi yang dilakukan oleh para politisi dan atau partai politik di negeri ini, sebuah koalisi lebih disebabkan oleh adanya kepentingan politik murni, yang bisa kita sebut sebagai kepentingan pragmatis (meskipun sebutan tersebut terkesan sarkastis), yakni sebuah koalisi dibangun untuk mendapatkan jabatan publik strategis dan kemudian membagi-baginya di antara sesama peserta koalisi. Kesamaan platform yang semula didengungkan oleh para patinggi partai di negeri ini seolah sirna ditelan oleh kepentingan politik pragmatis tersebut. Fenomena seperti itu nyata terasa bila kita melihat pada aneka koalisi, baik yang dilakukan oleh partai-partai politik maupun para kandidat pada beberapa pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang sudah dilangsungkan di berbagai daerah. Dan bisa diyakinkan, bahwa untuk beberapa waktu kedepan, model pilihan pragmatis tersebut masih tetap akan dominan dalam kancah perpolitikan kita di negeri ini.

Meskipun bagi penggiat politik, terlebih lagi bagi para politisi di negeri ini, sejatinya koalisi dan aliansi merupakan bentuk kerja sama politik yang umum selama dan setelah kemerdekaan serta di awal masa demokrasi pada era 1950 an, namun kedua bentuk kerjasama itu terabaikan semenjak akhir era Soekarno sampai berkahirnya pemerintahan Orde Baru (hal. 30).

Namun demikian, selama ini, kita, lebih khususnya lagi para politisi di negeri ini, nampaknya jarang sekali, kalau tidak boleh dibilang abai sama sekali, mempelajari apa dan bagaimana sebetulnya koalisi tersebut. Sehingga ketika sebuah koalisi dibangun, para politisi kita sebagai ‘peserta’ dalam koalisi tersebut nampak gamang dan gagap serta kikuk dalam berinteraksi selama atau dalam meniti jalan kebersamaan yang bernama koalisi tersebut. Fenomena paling aktual yang bisa kita jadikan sampel adalah gonjang-ganjingnya pemerintahan (koalisi) yang dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat ini, terakhir, bahkan diantara beberapa anggota parlemen yang berasal dari partai peserta koalisi setuju diadakannya hak angket untuk meminta penjelasan kepada pemerintah mengenai keputusannya menaikkan bahan bakar minyak.

Kehadiran buku ini merupakan pembuka mula wacana yang juga bisa difungsikan sebagai salah satu guideline (panduan) bagi siapa saja yang hendak belajar seluk beluk koalisi secara lebih terstruktur dan sistematis, dengan cerdas Rainer Adam menyajikan kepada kita satu literatur sebagaimana dikatakannya, “sebagai buku belum pernah ada di Indonesia” (hal. V) . Kita akan dibawa kepada satu pelajaran dari beberapa sampel atau contoh bentuk-bentuk koalisi di beberapa negara yang disajikan dalam buku ini. Yang menjadi nilai tambah lain dari buku ini adalah, kehadirannya tepat pada momen dimana masayarakat, khususnya politisi di negeri ini tengah menyambut pesta demokrasi pada 2009 nanti.

Tersaji dalam tiga bagian utama (hal. vi-vii), yaitu; Bagian Pertama, setelah penulis memberikan ta’rif atau definisi mengenai koalisi kemudian masuk pada memberikan paparan singkat mengenai bentuk-bentuk utama koalisi dan kondisi yang membuat koalisi dapat berjalan. Bagian ini juga mencakup sejumlah informasi dasar tentang bagaimana pemerintahan koalisi bekerja dan bagaimana profesionalisasi manajemen koalisi dapat dikembangkan.

Bagian kedua buku ini menyajikan dua kontribusi dengan latar belakang dan pengalaman yang berbeda. Bagian ini memaparkan pandangan-pandangan Manfred Richter, seorang mantan politisi nasional dan manajer koalisi Partai Demokrat Bebas (Free Demokrat Party/ FDP) di Jerman. Richter memiliki pengalaman yang memadai mengenai manajemen politik pada level nasional, negara bagian dan kota.

Kontribusi kedua, pada bagian kedua buku ini, berasal dari kalangan akademisi. Sabine Kropp adalah seorang akademisi perempuan yang disegani, yang telah melakukan penelitian ekstensif mengenai politik koalisi di Jerman. Ia telah menganalisis sejumlah perjanjian koalisi dan menerbitkan penemuan-penemuannya pada tahun 1998, yang diikuti dengan penerbitan bukunya, Governing in Coalitions: Option for Action and Decision Making, pada tahun 2001.

Bagian ketiga buku ini menyajikan empat kasus kongkret mengenai perjanjian koalisi yang telah diformulasikan dan diumumkan kepada masyarakat. Dua dari kasus tersebut terjadi di tingkat nasional (masing-masing berupa satu ‘koalisi besar’, dan satu lagi koalisi kemenagan minimal).

Meski diakui oleh penulisnya bahwa buku ini “tidak dimaksudkan sebagai karya teoritis standar dari ilmu politik” (hal. v) namun kehadirannya dirasa tepat waktu, sebab negeri ini, khususnya para politisinya sudah mulai melakukan warming up guna menghadapi momen Pemilu 2009. Bila kita melihat hasil beberapa jajak pendapat, tidak akan ada partai yang akan menang secara mutlak pada Pemilu 2009 nanti, itu berarti bahwa kita juga yakin pasca Pemilu 2009 mau tak mau partai-partai harus menjalin koalisi, baik untuk berkuasa maupun untuk beroposisi. Berangkat dari kondisi tersebut, selayaknya para penggiat politik untuk mau mengambil ibroh atau pelajaran dari buku ini, agar koalisi yang dibangun kedepan tidak justru menimbulkan gagap dan kikuk politik dalam berinteraksi diantara sesama peserta koalisi tersebut, yang imbasnya akan berdampak bukan sekedar pada makin kokohnya demokrasi di negeri ini, namun juga sebagai terciptanya kesejahteraan, kemakmuran dan keamanan warga seluruh bangsa ini, sebagaimana dicita-citakan oleh para pendiri Republik ini.

Barangkali kekeliruan yang agak mengganggu pembaca adalah adanya kesalahan penamaan pada salah satu negara yang dijadikan sampel pada buku ini, Timor Leste yang sejak 1998 telah berubah nama, dari semula saat masih bergabung dengan Indonesia, negara tersebut bernama Timor-Timur, dalam buku ini masih ditulis sebagai Timor Timur. Namun dengan sportif Rainer Adam mengakui bahwa “buku ini bukanlah produk yang selesai, melainkan masih terbuka bagi adanya penambahan, perbaikan dan pencatuman pelbagai fenomena baru yang spesifik” (hal. V) sehingga apapun kekurangan dalam buku ini bisa segera dikoreksi dalam terbitan pada masa yang akan datang, terlebih lagi ‘hanya’ kesalahan penamaan seperti tersebut di atas.
Wallahua’lam bisshowab.