Thursday, April 30, 2009

Gerakan New Age

Tulisan ini merupakan salah satu makalah yang disajikan pada Urban Sufism Days 2009, yang digelar oleh Fakultas Falsafah dan Agama, Universitas Paramadina Jakarta, pada 22 Januari 2009,
bertempat di Kampus Universitas Paramadina, Jl. Gatot Subroto. Senagaja saya tampilkan disini dengan tujuan untuk berbagi kepada Anda, pengunjung Blog saya.

Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang sangat pesat telah membuat manusia yang hidup di berbagai tempat dunia ini dapat saling berhubungan secara regular. Sebagai akibatnya, dunia telah menjadi satu jaingan hubungan social yang sangat luas. Dalam keadaan seperti ini, ide-ide dan budaya-budaya dengan deras mengalir, meskipun arahnya masih sangat tidak berimbang. Arus informasi yang mengandung ide-ide dan budaya-budaya lebih banyak mengalir. Dari Utara ke Selatan. Disamping itu, berkat perkembangan transportasi yang semkin maju, manusia dan barang-barang juga ikut mengalir dalam jumlah dan frekuensi yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Salah satu dari ide dan budaya-budaya tersebut adalah New Age. Berkat kemudahan dalam memperoleh dan membaca literature mengenai paham ini, maka ide tentang New Age atau gerakan New Age yang lahir di Barat telah tersebar ke seluruh penjuru dunia. Di Indonesia, hal ini bisa dilihat, misalnya, dari pembahasan mengenai New Age, yang merupakan ‘topik utama’ majalah Panjimas, terbitan September 2003.
Tulisan ini merupakan penelusuran awal mengenai gerakan New Age. Di dalam tulisan ini penulis akan menguraikan sejarah munculnya gerakan New Age, mendiskripsikan pengertian gerakan New Age dan New Age itu sendiri, dan memaparkan ide-ide dan kepercayaan New Age. Di bagian akhira akan dibahas secara singkat mengenai gerakan New Age di Indonesia.
Sejarah Lahirnya Gerakan New Age
Gerakan atau jaringan New Age pertama kali muncul di Inggris pada akhir 1950-an (Melton, 1998: 360) atau tahun 1960-an (Melton, 1996: 148; lihat juga Honeggraf, 2001:16). Di Amerika Serikat, gerakan New Age berawal tahun 1971. Ini ditandai, antara lain, dengan berdirinya ashram-asrham (padepokan-padepokan) dan pusat-pusat pelatihan yang didirikan oleh guru-guru dari Timur. Meskipun demikian, baru pada tahun 1987 New Age dikenal secara luas oleh masyarakat Amerika. Hal ini adalah berkat disiarkannya di televisi nasional versi film dari buku yang ditulis oleh seorang new ager, artis Shirley MaLaine, yang berjudul Out on a limb (1983). Di dalam buku tersebut ia menceritakan tentang pencariannya terhadap jawaban-jawaban spiritual melalui channeling (praktek berkomunikasi dengan makhluk dar luar dunia ini melalui perantara) dan pengalaman-pengalaman UFO (Unidentified Flying Object, atau Benda yang Tidak Dikenal/Piring Terbang) di pegunungan Andes, Peru. Kedua macam aktivitas tersebut termasuk kedalam kelompok New Age.
Gerakan New Age bukanlah gerakan yang betul-betul baru, yang tidak mempunyai hubungan dengan gerakan-gerakan spiritual sebelumnya. Akar-akar sejarah gerakan ini dapat ditelusuri di dalam gerakan-gerakan keagamaan alternative yang muncul pada abad ke 19. Misalnya, Spiritualisme , Teosofi , dan berbagai macam gerakan-gerakan penyembuhan alternative (Bednarowski, 1991:210, lihat juga Melton, 1986: 108-109, dan Spangler, 1993:85). Hampir sejalan dengan ini, Hengraaf (1998:95-96) mengatakan bahwa gerakan New Age berakar pada UFO cults yang berkembang pada tahun 1950-an, dan masih bertahan sampai sekarang. Pandangan hidup yang bersifat metafisik-rahasia dari UFO-cults ini mengambil inspirasi dari berbagai macam sumber, khususnya sistem Teosofi Alice A. Bailey.
Apabila ditinjau dari sudut lain, kata Melton (1998;360), New Age dapat dianggap sebagia sebuah gerakan pengganti terhadap budaya-tandingan (counterculture) yang muncul pada tahun 1960-an. Sebagaimana dikemukakan oleh para pengamat New Age, banyak new agers adalah baby-boomers yang mungkin pada periode tersebut berpartisipasi dalam budaya-tandingan berangsur hilang pada awal 1970-an, banyak mantan “hippies” beralih ke pencarian spiritual di luar tradisi Judeo-Kristen.
Henegraaff (1998:97-103) membagi New Age ke dalam dua periode: New Age sensu stricto, yaitu New Age dalam pengertian terbatas, dan New Age sensu lato atau New Age dalam pengertian yang lebih luas. Dalam periode pertama, New Age sangat diwarnai oleh ajaran-ajaran Teosofi dan Anhtroposofi . Hal ini disebabkan gerakan tersebut bermula dan berakar di Inggris dimana kedua aliran itu dianut oleh banyak orang. Pada tahap ini new agers sangat mengharapkan kedatangan masa Aquarius. Hal ini berdasarkan pada interpretasi astrologis terhadap sejarah. Menurut interpretasi ini, setiap dua ribu tahun umat manusia beralih ke satu era baru dimana peradaban sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat dan tanda-tanda astrologis tertentu yang berkuasa pada masa itu. Selama 2000 tahun yang lalu manusia berada dibawah tanda Pisces, dan sekarang memasuki masa Aquarius. Oleh karena itu, New Age senso strico mempunyai visi millenarian. Sebagai akibatnya, perhatian mereka terfokus kepada kedatangan era baru dalam waktu dekat.
New Age sensu lato atau dalam pengertian yang luas muncul ketika menjelang tahun 1970-an semakin banyak orang menyadari adanya persamaan yang besar diantara ide-ide dan usaha-usaha “alternatif” yang sangat beraneka ragam. Orang-orang ini kemudian menganggapnya sebagai bagian-bagian dari suatu gerakan yang terpadu. New Age sensu stricto yang bertahan hidup pada tahun 1970an dan 1980-an bisa dianggap sebagai bagian dari New Age sensu lato. Pada periode kedua ini harapan akan datangnya masa Aquarius tidak lagi dianggap penting. Dan New Age sensu lato ini lebih bercorak Amerika tinimbang Inggris, dan sangat dipengaruhi oleh budaya-tandingan California. Oleh karena itu, pengaruh-pengaruh tradisi metafisik dan New Tought khas Amerika sangat kelihatan tinimbang Teosofi dan Anthtrosofi. Satu hal yang perlu dicatat ialah bahwa tak satupun dari fenomena yang disebut New Age adalah melulu pengulangan dari fenomena tradisional. Semuanya berkembang. Semuanya berkembang dengan karakteristik masing-masing, sering mengambil arah yang unik dibawah pengaruh pandangan New Age.
Satu hal yang sering dibicarakan dan dianjurkan para penulis buku-buku New Age pada periode kedua ini adalah ‘perubahan paradigma’ (paradigm shift) dalam memandang dan memahami dunia ini. Suatu perubahan pandangan hidup yang utama sebagai sumber dari cita-cita dan nilai-nilai yang akan menuntun budaya dan peradaban umat manusia.
Jaringan New Age
Juru bicara New Age Marilyn Ferguson (1980:23) mengatakan bahwa gerakan New Age adalah “jaringan (network)” yang tidak mempunyai pemimpin, tetapi sedang bekerja dengan kuat untuk menciptakan perubahan yang radikal….” Ferguson menyebut jaringan ini the Aquarian Conspiracy, yang anggotanya terdiri dari berbagai tingkatan penghasilan dan pendidikan, dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi. Mereka inilah yang pada akhirnya akan merubah fondasi masyarakat industri modern. Elliot Miller (1989:33) menyebut beberapa tokoh yang menjadi anggota gerakan New Age. Diantaranya adalah: Alfin Tofler (futurist), E.F. Schumacher (ahli ekonomi), Fritjof Capra (ahli fisika), Richard Alpert alias Baba Ram Das (mantan Proffesor Psikologi di Harvard), dan Mark Satin (pengarang “New Age Politics”). Saat ini Deepark Chopra adalah guru New Age yang paling populer di dunia.
Adapun jaringan (network) itu, menurut Melton (Melton, Clark and Kelly, 1990:216), adalah suatu struktur orang dan organisasi yang sangat longgar, yang dihubungkan satu sama lain oleh satu minat atau kepentingan yang sama. Mereka ini dihubungkan terutama oleh sebuah buku daftar alamat yang berisi nama, alamat, dan nomor telpon. Orang-orang yang tercantum di dalam satu daftar jaringan mungkin, tetapi biasanya tidak, mempunyai ikatan organisasi formal, biasanya hubungan itu berbentuk asosiasi yang sederhana.
Jaringan ini cenderung bersifat desentralisasi dengan kekuasaan dan tanggung jawab distribusi secara luas. Jaringan juga sering tidak mempunyai pimpinan dan kantor pusat. Para anggota jaringan ini independen dan masing-masing mempunyai daerah kekuasaan dan agenda. Meskipun demikian, mereka bekerjasama di dalam satu network karena mereka mempunyai beberapa misi dan nilai yang sama.
Adapun arti dan definisi dari New Age itu sendiri sangat bervariasi, tergantung pada aspek yang ditekankan oleh orang yang mendefinisakannya. Hal ini disebabkan ole hide-ide, ajaran-ajaran dan aktifitas-aktifitas yang masuk kategori New Age sangat banyak dan beranekaragam. Drane (dikutip dalam Greer, 1995:151) mengatakan bahwa ‘unsur-unsur yang sangat bervariasi yang masuk ke dalam adonan New Age akan selalu menjamin bahwa setiap definisi mengenai New Age pasti ditantang oleh orang lain yang mengalami pengalaman berbeda dengan mengenai New Age’.
David Spangler (1993: 80), seorang guru, juru bicara dan sekaligus kritikus New Age, melukiskan New Age sebagai sebuah pasar loak atau pasar malam. Dikedua kesempatan tersebut terdapat banyak sekali stan-stan (booths) yang berwarna-warni dan berbagai macam bentuk. Keduanya adalah tempat bermain dan dan lokasi untuk menemukan hal-hal atau benda-benda yang diperlukan. Menurut Spangler, pasar (loak/malam) New Age juga terdiri dari berbagai macam tenda yang membingungkan. Hal ini disebabkan sangat bervariasinya kelompok-kelompok dan ajaran-ajaran yang dikelompokkan ke dalam New Age.
Mengutip The Seeker’s Guide: A New Age Resources Book (1992) karya new agers William Bloom dan Jhon Button, Spangler (1993: 81), salah seorang dari founding fathers gerakan New Age, menyebut 40 kelompok yang dapat diberi label New Age. Ia menambahkan bahwa jumlah tersebut hanya sebagian dari daftar kelompok New Age yang dicantumkan di dalam buku itu, dan banyak kelompok tidak memakai label New Age. Diantaranya adalah sebagai berikut: Spiritualitas Dewi, Spiritualitas Orang Indian Amerika, Meditasi, Yoga, Kaballah Yahudi, Astrologi, Shamanisme, Herbalisme, Hipotesa Gaia, ESP, Fisika Baru, Biologi Baru, Psikologi Humanistik, Psikologi Transpersonal, Teori Chaos, Ecofeminisme, Neopaganisme, dan Ilmu Sihir, Bisnis Holistik, Pendidikan Holistik, Sumber-sumber Energi Alternatif, Pengalaman di Ambang Kematian, Praktek berkomunikasi dengan makhluk yang hidup di dunia lain dan makhluk halus melalui seorang perantara (Chanelling), dan Masyarakat atau Komune yang dibentuk dengan sengaja dan sukarela (International Community).
Karena banyak dan bervariasinya kelompok yang diberi label New Age, maka tidak mengherankan kalau New Age sukar dipahami, tidak saja oleh orang awam tetapi oleh akademisi sekalipun. Sebagai akibatnya, New Age mempunyai arti berbeda-beda bagi setiap orang. Misalnya Heelas (1996:2) menganggap New Age sebagai ajaran-ajaran dan praktek-praktek eklektif yang berpusat di sekitar self-spirituality. Melton (1986:113) memandang New Age sebagai visi transformative dari satu dunia dan manusia baru. Henegraaff (1996:146) menganggap New Age sebagai agama, dan mendefinisikannya sebagai suatu bentuk esoterisme yang disekulerkan. Bruce (2000:235) juga memandang New Age sebagai satu bentuk agama yang sangat cocok dengan dunia sekuler. Sedangkan Frisk (2001:32) melihat New Age sebagai konsep yang beraneka ragam dari budaya yang bermacam-macam yang difokuskan pada penyembuhan (healing), dan cara-cara yang diambil dari berbagai macam budaya untuk mencapai kondisi sehat.
Menurut Spangler (1993:81), ada satu hal yang menghubungkan semua kelompok yang beraneka ragam itu, yaitu semuanya menolak pandangan hidup yang matrealistik dan paradigma patriakhal dan budaya masyarakat Barat kontemporer. Mereka menawarkan suatu proses transformasi bagi individu atau budaya secara keseluruhan.
David Spangler (1993:80) menjelaskan bahwa New Age bukan agama baru. Spangler mengatakan bahwa New Age tidak mempunyai satu doktrin terpadu yang dapat menjadi acuan new ager. Ia tidak mempunyai seorang pendiri spiritual seperti Budha, Yesus atau yang lainnya. Ia tidak mempunyai satu set latihan spiritual yang utuh, pola umum maupun fokus penyembahan. Ia juga tidak mempunyai satu jalan spiritual yang dirumuskan dengan baik menuju yang sakral. Ada beberapa kelompok cirri-ciri tersebut, tetapi mereka adalah pengecualian.
Spangler (1984:78-81) yang pernah tinggal selama tiga tahun di Findhorn, satu komune New Age di Skotlandia Utara, membagi New Age ke dalam empat level.
Pertama, New Age sebagai label, yang biasanya dipakai di dalam lingkungan komersial. Disini label “New Age” dipakai sebagai alat untuk menjual musik, obat-obatan, kursus-kursus, dan lain-lain.
Kedua, New Age sebagai “glamour”, suatu level yang paling popular dianggap sebagai “new age” dan paling banyak mendapat publisitas. Pada level ini individu dan kelompok hidup dalam fantasi petualangan dan kekuatan, biasanya bersifat millenarian. Cirri utama dari level ini adalah keterikatan terhadap dunia pribadi pemuasan ego, dan sebagai akibatnya (meskipun tidak terlalu nampak) new agers menarik diri dari dunia. Pada level ini New Age dihuni oleh makhluk-makhluk aneh dan eksotik, para master, para ahli, dan makhluk dari angkasa luar. Level ini adalah suatu tempat kekuatan-kekuatan batin dan msiteri-misteri rahasia, konspirasi-konspirasi dan ajaran rahasia.
Ketiga, New Age sebagai imej perubahan, biasanya dimaksudkan sebagai suatu paradigm shift di dalam institusi-institusi dan kesadaran manusia seperti yang diharapkan oleh Marilyn Ferguson. Di dalam konteks ini ide tentang kemunculan kemunculan budaya budaya baru biasanya nampak di dalam istilah-istilah spiritual, dan istilah new ager itu sendiri jarang dipakai
Keempat, New Age sebagai penjelmaan dari yang sakral dan dilukiskan sebagai suatu peristiwa spiritual, lahirnya kesadaran dan pengalaman hidup yang baru.
Ide dan Kepercayaan New Age
Bednarowski (1991; 209) mengatakan bahwa new agers peraya bahwa Tuhan atau the Absolute itu imanen di dalam setiap atom dari alam semesta. Bersumber dari kepercayaan ini new agers percaya bahwa segala sesuatu di alam semesta ini mempunyai hubungan satu sama lain (interconnectedness). Sejalan dengan ini, Spangler (1993; 103) mengatakan bahwa segala sesuatu yang dianggap Tuhan itu bukanlah satu titik tempat bertemunya segala sesuatu, merupakan ia merupakan lapangan di mana segala sesuatu dirangkul, diterima dan diberi makna dan nilai khusus. Sebagai akibatnya, kata Spangler, Tuhan bisa saja ditemukan di semua tempat dan setiap saat.
Paham ketuhanan yang bercorak panteisme-monisme ini dituntanskan penjabarannya oleh new agers Shirley MacLaine, artis dan orang yang pertama kali mempopulerkan New Age kepada publik Amerika. Ia mengatakan: “Apabila setiap orang diajari satu hukum spiritual yang utama, maka duniamu akan menjadi tempat yang lebih menyenangkan dan lebih sehat. Dan hukum itu: setiap orang adalah Tuhan. Setiap orang.” (Dikutip di dalam Newport, 1998:x) Atau “All is one. We are all One. All is God. And we are God.” (Hartil, 2001:268). Paham yang menganggap bahwa manusia adalah Tuhan dikemukakan pula oleh Mark Pesce, yang mengaku sebagai tukang sihir yang baik (a good witch), ketika ia mengatakan kepada Zaleski (1197;261) yang mewawancarainya bahwa “ there is no God but man” (“tidak ada Tuhan selain manusia”).
Dengan demikian, New Age tidak membuat perbedaan antara Pencipta dengan ciptaan-Nya, New Age mengajarkan bahwa di dalam diri manusia terdapat hakekat yang suci. Oleh karena itu, diri manusia pada dasarnya adalah baik. Apabila ia jelek, maka akibat dari pengaruh lingkungan dan keadaan sekitarnya. Dengan demikian, system kepercayaan dan terapi yang ditawarkan oleh New Age bertujuan untuk menghilangkan kumpulan residu dari pengalaman-pengalaman yang tidak baik, dan membebaskan potensi manusia. Dengan kata lain, tujuan dari perjalanan spiritual adalah untuk membebaskan Tuhan dalam diri manusia, dan supaya manusia dapat berhungungan dengan pusatnya yang sejati (Bruce, 2000:227).
Heelas (1996:20) memasukkan usaha ‘pembuangan otoritas ego’ ini kedalam unsur ketiga dari tema-tema besar New Age atau self-spirituality. Dua tema besar lainnya yang disebut oleh Heelas (1996:18-19) adalah bahwa kehidupan manusia, sebagaimana dialamai secara konvensional, tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini disebabkan manusia hidup secara mekanis di dalam system kepercayaan mereka, bukannya hidup di dalam dunia pengalaman yang sesungguhnya. Yang kedua, dan merupakan aspek paling penting dari lingua franca New Age adalah bahwa manusia itu pada hakekatnya bersifat spiritual. “To experience the ‘Self’ it self is to experience ‘God, the Goddness, the Source’…”
Ajaran bahwa segala sesuatu di dunia ini saling terkait satu sama lain, dan bahwa segala sesuatu berasal dari satu sumber erat hubungannya dengan konsep ‘holisme’ New Age. Konsep ‘holisme’ ini dipertentangkan dengan pandangan-pandangan yang non-holistik, yaitu budaya-budaya lama yang hendak diganti oleh New Age. Pandangan-pandangan non-holistik ini terdiri dari dua kategori, yaitu dualisme dan reduksionisme.
Adapun tentang agama, Bednarowski, (1991:210) mengatakan bahwa New Age mengenal hanya satu agama universal. Meskipun dalam kenyataan agama universal ini berwujud dalam berbagai macam bentuk, tetapi pada hakekatnya kepercayaan mistik yang sama (the Truth) mendasari setiap agama. Meskipun demikian, new agers menolak agama formal (organized religion) karena agama semacam ini, menurut mereka,telah mengurung yang sakral dan tidak memberi manusia jalan untuk memasuki pengalaman spiritual selain dari cara-cara yang telah ditentukan oleh institusi tersebut. Di samping itu, agama formal (Kristen) mengajarkan tentang doktrin dosa dan ketidakberdayaan manusia. Doktrin ini meremehkan potensi manusia, padahal manusia itu adalah Tuhan, sebagaimana pernyataan new agers Shirley MacLaine dan Mark Pesce.
Mengenai science, new agers menolak science yang bersifat mekanistik dan matrealistik yang didukung oleh fisika Newtonian. Karena, menurut mereka, jenis science ini tidak memberi tempat bagi kesadaran: ruh atau jiwa, atau segala sesuatu yang bukan materi di alam semesta. Newtonian science juga tidak mengakui realitas sentral dari pengalaman manusia, yaitu aspek-aspek perasaan yang lebih dalam.
Sebagai pengganti fisika Newtonian new agers memakai ‘fisika baru’, yaitu dunia quantum dan hologram, sebagai fondasi dari pandangan hidup yang baru. Menurut mereka, ini adalah dunia yang bagian-bagiannya saling berhubungan satu sama lain dan terlibat dalam kreatifitas terus menerus, bukan bagian-bagian yang terpecah-pecah dan statis. Ia juga adalah dunia yang mendukung visi mistik yang mempersatukan, dan oleh karena itu mempunyai potensi untuk mempertemukan wawasan science dan agama mengenai tabiat realitas.
Kepercayaan New Age yang lain adalah reinkarnasi dan karma. Seperti akan yang dijelaskan di dalam tulisan ini, transformasi pribadi merupakan suatu proses yang berkesinambungan. Oleh karena itu, setiap new ager akan memilih sadhana (jalan spriritual) untuk berkembang dan pertumbuhan satu periode kehidupan, maka kepercayaan terhadap reinkarnasi dan karma memberikan suatu kerangka jangka bagi seseorang untuk melihat perkembangan spiritualnya. Individu-individu akan menyelesaikan pertumbuhan moral dan spiritual mereka pada saat menjalani akibat-akibat dari perbuatan mereka yang lalu, baik di dalam kehidupan terdahulu maupun yang sekarang, dalam kehidupan yang berturut-turut dalam bentuk tubuh. Hukum karma, yaitu hukum yang mengatakan bahwa alam semesta memberi ganjaran dan hukuman, memberikan otoritas terhadap perbuatan yang bermoral. Perbuatan yang tidak bermoral menghasilkan akibat yang tidak menyenangkan (bad karma) bagi pelakunya (Melton, 1986:113-114).
Kepercayaan terhadap reinkarnasi dan karma termasuk diantara sedikit kepercayaan New Age yang diyakini sedemikian kuatnya dan dengan penuh semangat. Hal ini disebabkan kepercayaan terhadap kedua hal tersebut menegasikan doktrin neraka dan kekekalan di dalamnya. Disamping itu, ia menjelaskan ketidaksamaran dan kenegatifan kehidupan. Ia juga memberi waktu tambahan yang diperlukan bagi pertumbuhan spiritual, dan menyediakan sumber yang tidak pernah habis bagi spekulasi tentang kehidupan yang lampau, pasangan yang serasi, dan kehidupan setelah meninggal.
Pengalaman transformasi.
Ide atau paham New Age yang paling utama adalah kepercayaan akan terjadinya transformasi. Trasnformasi sebagai inti dari paham atau visi New Age dikemukakan, antara lain, oleh David Spangler (1993:82) dan J. Gordon Melton. Transformasi ini, meurut mereka, dimulai pada level individu dan selanjutnya diharapkan transformasi terjadi pada level masyarakat. Dari individu yang utuh dan sehat, lahirlah pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan yang akan mentrasformasi dunia.
Bagaimana proses terjadinya transformasi pada level masyarakat? New agers percaya bahwa sekelompok minoritas yang telah mengalami transformasi dapat menimbulkan perubahan luas. Proses in mereka jelaskan melalui, antara lain, satu teori yang dikenal dengan nama critical mass. Teori ini dapat dilacak sumbernya dari cerita tentang “Pengaruh atau Fenomena Monyet Keseratus”. Pada tahun 1958 di Pulau Koshima Jepang, beberapa orang peneliti yang sedang mempelajari tingkah laku kera liar menuangkan kentang (hal 48)

Monday, April 06, 2009

Human Resource Psychological Record for Recruitment and Assesment

Human Resource Psychological Record
for Recruitment and Assesment

Di era bisnis yang sangat kompetitif seperti saat ini, semua organisasi bisnis dituntut untuk senantiasa mampu merespon kompetisi yang ada, sebab bila sampai lengah dan mengabaikan yang ada, niscaya akan berakibat fatal bagi organisasi bisnis tersebut. Diantara sekian banyak problem yang membutuhkan solusi dengan segera adalah kualitas Sumber Daya Manusia.
Kesadaran akan pentingnya Sumber Daya Manusia merupakan langkah awal yang positif dalam mengelola suatu organisasi bisnis. Akan tetapi kesadaran saja tidaklah cukup. Organisasi perlu memiliki sistem pengelolaan dan juga alat bantu yang cukup memadai dalam memberdayakan Sumber Daya Manusianya.
Ilmu psikologi sebagai salah satu ilmu pengetahuan yang aplikatif, dapat merumuskan satu alat bantu dalam sistem penilain dan pengelolaan Sumber Daya Manusia, sistem tersebut dikenal dengan Human Recourses Psychological Report (HRRP), adalah satu spektrum area konstruksi psikologis yang meliputi; profil kepribadian dan profil peran pribadi dalam satu sistem kerjasama yang sering begitu kompleks. Namun demikian, bukan berarti tidak dapat diungkap secara komprehensif. Melalui pemeriksaan psikologis dengan metode dan alat tes (tools) yang tepat dan profesional, dapat memberikan rekam psikologi (psychological record) yang validitas dan reabilitas telah teruji dan terbukti secara akurat.
Masalah-masalah yang sering muncul dalam proses penilaian SDM (HRD Assesment), baik untuk tujuan seleksi, recruitment, atupun pengembangan karyawan antara lain:
1. Kriteria keberhasilan dari suatu jabatan yang akan diisi tidak jelas, atau kriteria yang dipakai untuk menilai setiap orang tidak sama.
2. Subyektivitas atasan dalam menilai seseorang (misalnya dengan menggunakan kriteria-kriteria yang tidak berhubungan dengan tuntutan jabatan, pengaruh kesan pertama yang berlebihan, dan lain-lain).
3. pemilihan dan penggunaan metode serta teknik pengukuran yang kurang handal.
4. kurangnya kesempatan bagi sang calon pemegang jabatan untuk menunjukkan kemampuannya selama proses pengukuran.
Akibat-akibat yang ditimbulkan, diantaranya;
1. Rendahnya nilai output karena proses pemilihan dan pengembangan gagal menghasilkan individu yang prosuktif
2. Ketidakcocokan bidang kerja atau kemampuan aktual yang akan mengarah pada rendahnya moril kerja yang pada gilirannya akan meningkatkan turn over karyawan. Hal tersebut bukan saja berakibat pada membengkaknya biaya training dan recruitment karyawan baru, juga berpotensi memburuknya citra perusahaan.
3. Ketidakpuasan kedua belah pihak, kandidat atau karyawan yang diukur, dan juga pengguna (yaitu managemen perusahaan) terhadap proses dan hasilnya.
4. Pertentangan yang membingungkan antara rekomendasi hasil pengukuran dengan kenyataan kemampuan sehari-hari.
Human Recourses Psychological Report (HRRP) merupakan suatu alternatif sekaligus instrument pendukung yang dianggap memiliki validitas yang tinggi dalam mengidentifikasi sumber daya manusia yang dimiliki oleh organisasi. Metode ini dinilai memiliki suatu “validitas” yang cukup tinggi dalam memprediksi tingkat keberhasilan seseorang dalam eksistensinya di lingkungan kerja dimaksud. Hal ini didasari oleh berbagai berbagai hasil penelitian yang menunjukkan bahwa metode ini dinilai lebih obyektif bagi manajemen dalam mengambil keputusan berkenan dengan Sumber Daya Manusianya.
Human Recourses Psychological Report (HRRP) dapat berhasil, apabila didukung oleh 4 faktor, yaitu;
1. Dimensi, standar, Standard kompetensi atau dimensi yang jelas untuk jabatan mendatang. Hal ini bias termasuk jumlah calon yang diinginkan dan waktu pemenuhan kebutuhan harus diidentifikasi secara jelas.
2. Alat ukur, Alat Ukur yang digunakan adalah alat ukur yang memiliki validitas tinggi, yang terkait dengan posisi yang dituju.
3. Assesor, faktor keberhasilan pengukuran membuat analisa yang akurat ditentukan oleh tingkat kompetetensi assessor dan pengalamannya.
4. Sistem, diperlukan sistem ke HRD-an yang kondusif, agar hasil assesmen benar- benar bermanfaat bagi perusahaan. Sistem yang dimaksud antara lain; penempatan yang sesuai, development,choaching, guidance, dari atasan.
Tujuan Human Resourses Psycological Record (HRPR)
1. Memperoleh informasi dan gambaran yang jelas tentang kompetensi (profil) profil kepribadian dan profil peran pribadi dalam kerjasama tim setiap peserta. Informasi ini selanjutnya dapat digunakan untuk memilih dan mengembangkan pegawai tersebut secara tepat dan terarah dengan meminimalisir unsur-unsur subyektivitas.
2. Mengungkap aspek inteligensi, kepribadian, manajerial, dan kreativitas pegawai.
3. Menempatkan pegawai pada posisi yang sesuai dengan kompetensi yang dimiliki, serta persyaratan kompetensi jabatan pada struktur organisasi yang berlaku.
4. Mengidentifikasi kompetensi individual yang perlu diperbaiki dari masing-masing pegawai sebelum masukan dalam “training need analysis”.
Instrumen Human Resourses Psycological Record (HRPR)
1. Kecerdasan Intelektual (IQ)
2. Sikap kerja
3. Kecerdasan emosi (Emotional Inteligence)
4. Konstruksi psikologis
5. Keterminatan
6. Peran individu dalam tim

Implementasi
Human Resourses Psycological Record (HRPR) meliputi 4 tahap pelaksanaan, yaitu;
1. Persiapan, dengan tujuan:
1. Untuk memperoleh gambaran mengenai organisasi
2. Mengidentifikasi kebutuhan organisasi
3. Menentukan standar kriteria atau kompetensi yang dibutuhkan pada jabatan yang akan diukur.
2. Pelaksanaan Pemeriksaan Psikologis
Metode yang dipakai dalam tahap ini meliputi:
1. Wawancara
2. Paper & Pencil Tes
3. Inventory
Report Writing
Hasil laporan lengkap akan disampaikan 2 (dua) minggu setelah proses pemeriksaan psikologis dan pengumpulan data terlaksana. Laporan tersebut akan terdiri dari (tiga) bagian, yaitu;
 Deskripsi Program, Berisi tentang gambaran rekam psikologis (psycological record), uraian mengenai masing-masing aspek psikologis yang diukur sehingga tampak dinamika kepribadian dan potensi yang dimiliki subyek.
 Kualifikasi dan Kompetensi, berisi uraian konstruksi psikologis (profil kepribadian, tipe individu dalam kerja sama di suatu tim kerja).
 Kesimpulan dan Rekomendasi, merupakan rangkuman terhadap semua aspek hasil pemeriksaan psikologis. Kesimpulan ini kemudian dibandingkan dengan spesifikasi pekerjaan atau spesifikasi personil yang sudah ditetapkan dan pengembangan yang diperlukan.
Presentation to management
Tujuan:
Memberikan gambaran mengenai kekuatan, kelemahan, serta pengembangan yang diperlukan setiap subyek.

Wednesday, April 01, 2009

Kau dan gundahmu

Berkali sudah kau hinggap di dahanku
kau tumpahkan rasa dan galaumu
sedu sedanmu
kupikir kau memang membutuhkan embun pagi
yang selalu sejuk disetiap pagi
engkau akan bersemayam di dahanku yang paling kau gemari
yang takkan pernah patah

Namun sewaktu kuminta engkau
untuk tetap tinggal disini
bersama angin, badai dan juga sinar mentari
serta kesejukan embun pagi
kau menolaknya
kau bilang akan mencoba pindah ke pohon yang lain
aku tak bisa mencegahmu

Selamat jalan camarku
kepakkan sayapmu
dan kau harus mampu membuang semua gundahmu
kau mungkin tak akan pernah lagi hinggap di dahanku
namun aku takkan merindukanmu

Matraman, akhir Maret 2009