Wednesday, February 18, 2009

Kemurtadan yang Niscaya dan Globalisasi Dakwah

Oleh Ulil Abshar-Abdalla
Pindah agama biasa disebut sebagai konversi. Ada dua model konversi: internal dan eksternal. Konversi internal adalah peristiwa yang hampir lazim terjadi dalam semua agama. Ia terjadi saat seseorang pindah dari mazhab dan perspektif tertentu ke mazhab dan perspketif lain, tetapi masih dalam lingkungan agama yang sama. Seseorang yang semula “fundamentalis” berubah jadi “moderat” atau sebaliknya, pada dasarnya telah melakukan konversi, tetapi dalam batas-batas agama yang sama.
Pindah agama biasa disebut sebagai konversi. Ada dua model konversi: internal dan eksternal. Konversi internal adalah peristiwa yang hampir lazim terjadi dalam semua agama. Ia terjadi saat seseorang pindah dari mazhab dan perspektif tertentu ke mazhab dan perspketif lain, tetapi masih dalam lingkungan agama yang sama. Seseorang yang semula “fundamentalis” berubah jadi “moderat” atau sebaliknya, pada dasarnya telah melakukan konversi, tetapi dalam batas-batas agama yang sama.
Dengan makin membludaknya pilihan-pilihan “pendekatan” dalam memahami agama (Islam, misalnya) saat ini, maka peristiwa konversi internal hampir merupakan kejadian yang lazim terjadi setiap saat. Seorang sosiolog agama dari Boston University, Peter Berger, bahkan menyebut salah satu ciri modernitas adalah munculnya gejala “heretical imperative”, gejala kemurtadan yang niscaya. Murtad di sini dimaknai menyimpang dari pandangan yang dominan dalam sebuah agama.
Sekarang ini, seseorang bisa dengan mudah menjadi “koki” agama untuk dirinya sendiri. Maksudnya, dia bisa meracik ramuan “agama” dari pelbagai sumber, entah kiai, buku, majalah, koran, atau ceramah di TV dan radio, lalu memasak bahan-bahan itu menjadi “menu” baru yang pas untuk dirinya sendiri.
Dalam satu aspek, dia bisa ambil dari Quraish Shihab, dari aspek lain kulakan dari Kang Jalal, sementara di aspek lainnya lagi bisa mencomot dari MUI, lalu bahan-bahan itu ia olah sendiri menjadi “model Islam baru” yang “customized” dan pas benar dengan ukuran hati dan pikiran dia sendiri. Semua orang, sekarang, makin cenderung memiliki agama yang pas buat dirinya sendiri, hasil dari racikan yang ia buat sendiri.
Bentuk-bentuk Islam yang sudah “cutomized” itu tak perlu disuarakan secara publik ke luar, tetapi umumnya tersimpan sebagai rahasia pribadi antara orang berangkutan dengan dirinya sendiri dan Tuhan. MUI tak meungkin berkuasa mendikte jenis Islam apa yang harus diyakini oleh masing-masing individu pada wilayah yang sangat privat ini.
Karena bahan bacaan yang makin meluas, atau pengalaman hidup yang baru, orang bisa mengocok kembali racikan yang ada, menambahkan racikan baru, membuang beberapa racikan lama yang sudah usang, lalu menciptakan Islam baru yang lain lagi dan lebih pas dengan dirinya yang sudah berubah itu. Dalam hal ini, ia telah melakukan proses “swa-murtad”, maksudnya, murtad dan menyeleweng dari “racikan Islam lama” yang ia ciptakan sendiri, menuju racikan baru yang lebih cocok.
Begitulah, proses itu berlangsung terus sepanjang hidup orang modern. Kita memasuki era “customized Islam”, era di mana telah terjadi heretical imperative.
Sementara itu, konversi eksternal terjadi jika seseorang pindah dari satu agama ke agama lain. Konversi internal jauh lebih sering terjadi ketimbang konversi eksternal. Yang terakhir ini biasanya terjadi dalam situasi yang sangat khusus.
Saya kira, agama yang paling bersemangat melakukan konversi eksternal saat ini adalah Kristen, terutama Kristen evangelis dengan beragam denominasi. Rangking kedua diduduki Islam, terutama Islam Wahabi yang didanai milyaran petro-dollar Arab Saudi. Rangking berikutnya adalah Budha.
Jarang orang memperhatikan bahwa agama Budha juga salah satu agama yang pesat perkembangannya di Barat saat ini. Yang menarik, penyebaran agama Budha di Barat, terutama di AS, tidak terkait dengan kegiatan proselitisasi yang agresif seperti kita kenal dalam Kristen. Agama Budha dipeluk orang-orang Barat justru sebagai lifestyle baru yang menggairahkan. Sebagaimana orang-orang dengan bergairah menyambut buku Da Vinci Code, begitu pula tingginya entusiasme mereka menyambut agama Budha, Dalai Lama, dan kebijaksanaan timur yang bersumber dari agama itu.
Kita mengenal gejala yang disebut New Age di mana unsur-unsur agama Budha sangat berpengaruh di sana. Karena kejenuhan orang Barat terhadap agama-agama terorganisir seperti Kristen, agama Budha bisa menjadi alternatif yang menarik buat mereka, sebab agama ini (tidak semuanya, tetapi beberapa sekte di sana) tidak terlalu peduli dengan aspek kelembagaan.
Yang ditekankan adalah proses meditasi personal. Tidak ada “syariat” di sana. Yang ada adalah “laku” atau “tarikat”. Agama ini, diam-diam, berkembang pesat di dunia Barat, dan tampaknya lebih cocok dengan orang modern yang sudah lelah akan “institusi”.
Di negeri-negeri luar Eropa atau Amerika, kegiatan proselitisasi memang jadi masalah besar. Di Cina, dakwah Kristen mendapat rintangan dan tekanan luar biasa dari pemerintah komunis. Di India, reaksi atas Kristenisasi juga luar biasa keras. Di semua negara Timur Tengah, aktivitas Kristenisasi tak bisa berkembang dengan leluasa karena resistensi pemerintah atau masyarakat setempat. Di Asia Tenggara, seperti Burma, Vietnam dan Kamboja, Kristenisasi juga mendapat reaksi yang tak kalah keras dari masyarakat Budhis di sana.
Kristenisasi yang paling sukses di Asia terjadi di Korea Selatan. Bahkan, Korsel telah berhasil melahirkan gereja-gereja baru yang berbasis kultur Korea dan memunculkan genre Kristen baru yang boleh disebut “Koreo-Christianity”.
Secara umum, agama Kristen merosot total di Eropa, tapi mengalami re-invogorasi di negeri-negeri dunia ketiga, terutama di Asia, Afrika dan Amerika Latin.
Agama Islam sendiri, sebetulnya, juga tak kalah agresif dalam kegiatan proselitisasi. Seperti yang telah saya sebut, Arab Saudi adalah negeri yang paling bersemangat mendakwahkan Islam model Wahabi ke seluruh penjuru dunia. Tetapi, banyak orang lupa, ada sejumlah proselitisasi Islam yang dilakukan oleh kelompok-kelompok “swasta” atau organisasi-organisasi mandiri seperti Ahmadiyah dan Jamaat Tabligh. Banyak yang tidak tahu, proses Islamisasi di Afrika terjadi dengan sangat sukses berkat dakwah yang dilakukan Jamaah Ahmadiyah dan Jamaat Tabligh.
Jika melihat gejala proselitisasi ini secara global, sesungguhnya kita sedang melihat proses makin intensifnya gejala dakwah agama dalam semua agama di tingkat dunia. Dengan mengecualikan sejumlah agama lokal yang sifatnya sangat terbatas, kita melihat semua agama saat ini melakukan proselitisasi dengan satu dan lain cara. Proses proselitisasi makin menjadi fenomena global. Globalisasi dakwah adalah gejala yang makin umum, dan sebetulnya merupakan bagian dari gejala globalisasi dalam makna yang luas.
Sebagaimana kita tak bisa menghindar dari “tempias” berita-berita yang disiarkan CNN; atau lebih tepatnya lagi, sebagaimana kita tak bisa menghindar dari Microsoft, begitu juga kita tak bisa menghindar dari gejala globalisasi dakwah.
Ulil Abshar-Abdalla, mantan Koordinator Jaringan Islam Liberal
20/03/2006 | Kolom | #

Komentar
Komentar Masuk (4)

Sebagai mahasiswa, saya ingin membeitahukan bahwa dalam memberikan tanggapan ini mungkin belum sebaik yang diberikan oleh para saudara-saudara sebelumnya tetapi setidaknya tidak dengan nada merendahkan seperti saudara muhammad hafidz.Jadi bila tanggapan ini kurang baik dimata bapak ulil, mohon maaf.
Yang ingin saya katakan setelaah membaca artikel ini sehinggas menimbulkan pertanyaan2, seperti apakah rasisme di dalam kristen sendiri sudah hilang sehingga masyarakat dunia ketiga merasa bahwa kristen bukan dalih untuk kolonialisasi seperti yang dilakukan oleh eropa abad 19.Dengan melihat rujukan yang saya baca di buku tokoh kita, imam nurcholis madjid, alm yang berjudul “islam doktrin dan peradaban”, disitu dijelaskan bahwa penyebaran agama kristen di afrika sangat lamban karena sikap gereja yang membentuk semacam sistem kasta atau strata.jadi kesimpulan saya dalam tanggapan ini,islam yang relevan memang seharusnya tidak mengisolasi diri karena paradigma penjajahan atau kultur tradisional yang hanya menghambat perkembangan islam selanjutnya.
Untuk bapak ulil abshar saya sangat berharap jamaah islam liberal mampu memberikan pengertian yang relevan dan realistis kepada masyarakat kita tentang bahaya bid’ah didalam islam khususnya indonesia. terimakasih.
Posted by hendra lesmana on 03/31 at 12:03 AM

Saya juga mencermati perkembangan agama Budha yg cukup pesat di negara2x Barat. Saya melihat banyak masyarakat Barat yg sangat respect thd ajaran2x Budha, sebagaimana mereka juga respect thd Islam beberapa tahun lalu sblm 9/11.
Saya melihat Islam menjadi jelek di mata masyarakat Barat saat ini karena banyak umat Islam yg menggambarkan Islam sebagai agama yg tidak cinta kasih, tuhannya orang Islam aja (bukan tuhan semesta alam) dan yg masuk surga orang Wahabi saja.
Jadi kejelekan itu terjadi karena salesmannya yg jelek, walaupun product itu sendiri (Islam) adalah produk yg bagus. Nabi Muhammad SAW pun akan sedih kalau melihat pengikut2xnya menjadi bad salesman karena bukankah nabi sendiri merupakan salesman yg hebat, hingga menyebarluaskan Islam hingga sebesar skrg ini:)
Posted by Ahmad Arief on 03/23 at 08:03 PM

Sayang sekali, Ulil tidak (’mampu’) memberikan sumber rujukan data ketika ia membikin rangking agama-agama yang melakukan konversi eksternal, juga ketika ia menguraikan tingkat pertumbuhan agama-agama di dunia Barat, sehingga kesan yang muncul di benak pembaca, Ulil tengah berhalusinasi yang ia tuangkan dalam tulisan tersebut. Semoga cukup sekali ini saja Ulil berhalusinasi
Mas Hafid
Posted by M. Hafid on 03/22 at 06:03 PM

Mengenai Dalai Lama,
Sebelumnya saya perlu tegaskan bahwa saya tidak bermaksud menghina agama tertentu (dalam hal ini Budha), tapi mungkin memang sudah sifat alami saya “being skeptic”.
Untuk teman2 lain (kalau teman2 aktifis JIL terutama para scholars, tentunya tidak perlu “dikuliahi” soal ini): sebelum melangkah terlalu jauh dengan memandang agama2 dari “timur” (seperti Hindu, Budha, Shinto, whatever) lebih baik (dalam arti lebih bijak, etc), dan lantas mengagung2kan (atau mengkultuskan figur2 seperti Dalai Lama) sebagai orang suci… I would like to say: dia manusia biasa, bisa berbuat salah (tentunya untuk beberapa hal benar/salah bisa jadi suatu yang subjektif, entahlah). Mungkin saja, hanya seberapa sering dia berbuat “salah” itu yang beda, tergantung pada intelektualitas dan pengendalian diri (kebijaksanaan/pengalaman).
Saya iseng menulis comment ini, sebab beberapa hari yang lalu saya membaca kritik terhadap Dalai Lama: http://www.salon.com/news/1998/07/13news.html
Well… gak ada maksud apa-apa. Saya cuma mengekspresikan skeptisisme saya terhadap “orang suci”. Orang baik ada (banyak), tapi orang suci… well, nanti dulu. I (think) I respect figures like Dalai Lama, not because of his “saint” status, tapi mungkin karena (setahu saya) dia relatif lebih “baik” dari saya (dan mungkin kebanyakan orang lainnya).
Mungkin saya akan dibilang “bejat”, bukan hanya oleh kalangan Islam, atau apalah istilahnya (setahu saya, di Katolik juga banyak saints). Tapi memang saya seperti itu. Terhadap figur yang notabene di Hindu pun saya cenderung begitu: Swami Vivekananda (Bhagawadgita Menurut Aslinya), misalnya. Saya sempat tidak tertarik membaca bhagawadgitha hanya karena dia, dengan judul bukunya, seakan2 mengesankan dialah yang punya authorisasi atas isi bhagavadgitha. Sampai akhirnya saya mikir:… well, kenapa gak saya coba liat dulu isinya, kalau memang ada yang berguna (dalam arti bisa membuat saya berpikir dan bersikap lebih baik sebagai manusia), kenapa tidak? Masalah asli /kurang asli..., kenapa saya harus pusing? Anyway, critic and skepticism terhadap “agama”, bagi saya akan terus saya jalankan.
Yah, segitu aja unek2 saya I like reading JIL (seperti memberi harapan, bahwa di Indonesia gak semuanya seperti FPI, MMI, dan yang sangar2 itu). I’m not a moslem, I call myself a Hindu, tapi keep up the good work guys (to JIL).
Posted by Cokorda Raka Angga Jananuraga on 03/22 at 06:03 PM
http://islamlib.com/id/artikel/kemurtadan-yang-niscaya-dan-globalisasi-dakwah/

2 comments:

luqman said...

salam mas hafidz........maksud saya dari perjuangan menegakkan ekonomi islam adalah perjuangan ingatan melwan lupa" adalah......... kita selama ini lupa atau sengaja memlupakan akan keberhasilan sistem ekonomi yang dibangun oleh rosulullah SAW, khulafaurryosidin dan tabi'in,, sistem yang mana jika dilaksanakan benar benar akan membuat kesejahteraan dan itu telah terbukti dizaman rosulullah SAW, khulafaurosidin (khususnya Umar) zaman umayyah dan abasiyah... selama dalam sejarah islam yang paling banyak disoroti hanyalah masalah politk saja.... kalo kita lihat dalam fiqh klasik hampir semua membahasa maslaah ekonomi (transaksi muamalah). seakan masalah ekonomi tidak pernah ada.padahal kalou kita amati negara yang besar pasti ekonomi juga kuat... nah saatnya sekarang kita mengingat kembali apa yang telah kita lupakan selama ini...

Mas Hafid said...

Terima kasih Mas Hans Commentnya, saya merasa mendapat masukan baru dari apa yang Anda tulis, semoga saya juga bisa memetik lebih banyak manfaat dari tulisan Anda.