Wednesday, October 07, 2009

Indonesia dan G 20

Terhitung sejak Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kelompok G 20 (G-20) di Pittsburgh, AS, akhir September 2009, secara resmi terjadi penggantian fungsi Kelompok 8 (G-8) oleh kelompok G-20 sebagai forum resmi kerjasama ekonomi global.
Dengan demikian G-20 merupakan kekuatan yang sangat signifikan dalam percaturan ekonomi global, sebab secara statistik negara-negara G-20 menguasai 85 persen Gross National Product (GNP) dunia, dan 80 persen perdagangan global. Bagi Indonesia sendiri penggabungan tersebut merupakan sebuah ‘berkah’ tersendiri, sebab peleburan G-8 menjadi G-20 otomatis memasukkan Indonesia ke jajaran kelompok elite dunia. Perubahan tersebut juga mencerminkan pergeseran kekuatan yang fundamental dari negara industri ke negara berkembang.
Menurut Kompas, sebenarnya wacana perluasan G-8 menjadi G-20 sudah ada dalam berbagai pertemuan G-20. Tetapi, wacana tinggal wacana, karena masih banyak ganjalan, termasuk sikap Jepang yang menolak China tampil ke panggung dunia.
Namun, keputusan para pemimpin negara yang berkumpul di Pittsburgh untuk menggantikan G-8 menjadi G-20 terjadi juga, lebih cepat dari yang diduga. Alasannya antara lain terjadinya krisis ekonomi global telah mempercepat perubahan tatanan ekonomi global.
Meski telah terjadi penggabungan dan atau peleburan, G-8 tetap akan terus mengadakan pertemuan untuk membahas hal-hal penting negara-negara maju, seperti isu keamanan internasional. Akan tetapi pertemuan G-8 akan diadakan ketika para kepala negara berkumpul untuk pertemuan lain, bukan pertemuan khusus seperti KTT.
Dunia saat ini tidak hanya dikusai oleh 8 negara industri kaya yang didominasi oleh AS dan negara-negara Uni Eropa. Arus barang dan jasa juga banyak mengalir dari negara-negara berkembang yang dahulu dipandang sebelah mata oleh negara-negara industri.
Perekonomian negara-negara berkembang saat ini telah menempati lebih dari separuh perekonomian global. Sayangnya, bayak dari negara yang ekonominya bertumbuh sangat cepat tak termasuk dalam kelompok elite G-8 itu. Memang, dalam pertemuan-pertemuan G-8 sering juga diundang negara berkembang seperti China. Namun kenyataannya G-8 tetap saja merupakan kelompok ekslusif elite negara-negara industri.
Selain inisiatif presiden AS Barrack Obama, China dan Brasil juga merupakan negara berkembang yang mendorong perluasan perluasan G-8 menjadi G-20. meningkatnya peranan G-20 membuat terjadinya perubahan terbesar dan terpenting dalam perekonomian global. Hal ini mengubah akar koordinasi kerjasama internasional dalam beberapa dekade terakhir.
Indonesia sebagai salah satu anggota G-20, merupakan salah satu pihak yang senang dengan keputusan digantikannya G-8 menjadi G-20 itu. Menurut Presiden SBY dalam jumpa pers di Pittsburgh, Indonesia berada dalam posisi strategis dalam menentukan arah dan kebijakan perekonomian global.
Kelak, Indonesia sebagai negara dengan ekonomi nomer 16 di dunia akan lebih banyak lagi diajak berdiskusi dan akan didengar pendapatnya di G-20. Posisi tawar akan menjadi semakin kuat dibandingkan dengan hanya menjadi tamu dan penonton G-8.
Persoalannya, apakah kita mampu memanfaatkan dengan maksimal posisi tawar yang semakin kuat ini dengan dalam percaturan ekonomi internasional. Kredo bahwa keinginan negara industri sering justru merugikan negara berkembang seharusnya dapat diubah dengan semakin besarnya peranan negara berkembang, termasuk Indonesia.
Sebagai negara yang diperhitungkan, Indonesia harus berani menyuarakan perlawanan atau ketidaksepakatan dengan negara-negara yang lebih besar dan lebih kuat. Banyak hal menantang yang seharusnya dapat disuarakan oleh Indonesia dalam forum tersebut. Misalnya soal utang, ketanagakerjaan, perdagangan, dan ekspor. Negara berkembang, termasuk Indonesia telah diberikan kesempatan lebih memiliki gigi dalam forum ini.
Adapun negara-negara yang berkumpul dalam forum G-20 di Pittsburgh tersebut adalah;
1. Afrika Selatan : Presiden Jacob Zuma
2. Amerika Serikat : Presiden Barrack Obama
3. Arab Saudi : Raja Abdullah
4. Argentina : Presiden Cristina Fernandes de Kirchner
5. Australia : Perdana Menteri Kevin Rudd
6. Brasil : Presiden Luiz Inacio Lula da Silva
7. China : Presiden Hu Jintao
8. India : Perdana Menteri Manmohan Singh
9. Indonesia : Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
10. Inggris : Perdana Menteri Gordon Brown
11. Italia : Perdana Menteri Silvio Berlusconi
12. Jepang : Perdana Menteri Yukio Hatoyama
13. Jerman : Kanselir Angela Merkel
14. Kanada : Perdana Menteri Stephen Herper
15. Korea Selatan : Presiden Lee Myung-bak
16. Meksiko : Presiden Filipe Calderon
17. Perancis : Presiden Nicolas Sarkozy
18. Rusia : Presiden Dmitry Medvedev
19. Turki : Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan
20. Uni Eropa : Diwakili oleh presiden bergilir UE dan Bank Sentral
Eropa

No comments: